Ilustrasi: SUPRIYANTO

Mengajar dan Meneliti di Negeri Sendiri

Author:

Artikel opini ini pertama kali terbit di Kompas.id (22/5/2023)

Ilustrasi: SUPRIYANTO

Ilustrasi: SUPRIYANTO

 

Kita sudah mencoba mereformasi pendidikan tinggi, tetapi tidak cukup cepat dan masif untuk mewujudkan visi Indonesia 2045. Harus ada terobosan dan percepatan, dan ini mesti jadi agenda para calon pemimpin bangsa.

 

Meski menjadi pejabat eselon I selama tujuh tahun di lingkungan Istana pada 2012-2019, lalu membantu penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi, serta kini menangani pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di Indonesia, kalau ditanya soal pekerjaan, selalu dengan bangga saya bilang: akademisi.

Sejak lulus sarjana tiga dekade yang lalu, saya aktif di ranah masyarakat sipil dan sepuluh tahun terakhir ini di lingkungan pemerintahan. Namun, selama itu juga, saya selalu terhubung dengan kampus, baik di dalam maupun di luar negeri—termasuk delapan tahun (2004-2012) menjadi akademisi di Universitas Manchester, Inggris. Pengalaman itu memengaruhi perjalanan karier profesional saya, sekaligus menjadi pijakan refleksi saat merenungkan hubungan antara dunia akademik dan cita-cita meraih kemajuan.

Mungkin kini sudah banyak perubahan, tetapi ingatan mengajar dan meneliti di Inggris saat itu melintas di benak ketika memikirkan situasi pendidikan tinggi di negeri sendiri yang banyak disorot akhir-akhir ini.

 

Dua pilihan

Karena selesai doktoral relatif singkat dalam dua tahun 10 bulan, saya langsung direkrut oleh Universitas Manchester sebagai staf post-doctoral, dan diberi pilihan untuk menjadi akademisi lewat jalur meneliti (research track) atau mengajar (lecturer track). Karier di jalur penelitian dimulai sebagai research associate, lalu research fellow, senior research fellow, reader, dan puncaknya profesor. Di jalur mengajar, jenjang karier dimulai sebagai Lecturer A, Lecturer B, Senior Lecturer, Chair, dan berakhir sebagai Profesor. Kedua track ini berlaku sama di semua universitas di Inggris, meski nama/title posisinya mungkin berbeda.

Saya memilih jalur peneliti. Kolega saya seangkatan memilih jalur mengajar. Tak ada iri karena kami menerima gaji sama, tanggung jawab serupa, dan penilaian karier yang fair dan terbuka. Dan kami tahu, akan sama-sama jadi profesor juga akhirnya.

Waktu kerja dihitung menggunakan sistem FTE (full-time equivalent). Seratus persen artinya lima hari kerja, 20 persen satu hari kerja. Satu hari kerja 37,5 jam, tidak termasuk satu jam istirahat dan dua kali 30 menit rehat sebagai hak pekerja. Setiap staf mengisi timesheet—mengerjakan apa, kapan, di mana—sebagai bentuk pertanggungjawaban sederhana, tetapi akuntabel tanpa harus repot dengan absensi sidik jari.

Kinerja akademik diukur dari output-nya. Peneliti (researcher) dinilai dari penelitian dan publikasinya. Pengajar (lecturer) dinilai dari kemampuan mengajar lewat umpan balik kelas dan keberhasilan anak didiknya dalam ujian. Setiap akademisi punya satu pembimbing (mentor) dan satu rekan sejawat (peer).

Setahun sekali ada CDR (career development review) bersama pimpinan (ketua jurusan/departemen, direktur, atau supervisor) dan mentor untuk membahas kemajuan si akademisi dengan memperhatikan masukan rekan sejawatnya. Hasil CDR menentukan kemajuan kariernya—termasuk kenaikan gajinya. CDR dilakukan dengan semangat membantu, mendorong, dan mendampingi. Bukan menilai, menghakimi, apalagi memojokkan dan menjatuhkan. ”Apa yang bisa dibantu agar kariermu lebih maju?” adalah pertanyaan sentral CDR.

Gaji ditentukan dengan mekanisme sederhana grade (pangkat) dan spine (golongan). Seorang research associate dan lecturer A ada dalam golongan yang sama. Pangkatnya bisa berbeda tergantung pengalaman dan hasil CDR. Besaran gaji grade dan spine tertentu berlaku sama di universitas mana pun di Inggris, kecuali di London, Oxford, Cambridge, dan Sussex, yang biaya hidupnya memang lebih mahal. Di keempat kota itu, semua pekerja menerima tambahan tunjangan kemahalan.

Seorang research associate dan lecturer A ada dalam golongan yang sama. Pangkatnya bisa berbeda tergantung pengalaman dan hasil CDR.

Sebagai peneliti, saya tetap diberi tanggung jawab mengajar dan membimbing meski hanya maksimal 40 persen dari seluruh waktu. Ini artinya mengajar satu mata kuliah dan membimbing maksimal dua mahasiswa per semester. Sebagai pengajar, kolega saya juga tetap diberi tanggung jawab meneliti dan membimbing meski juga hanya maksimal 40 persen dari seluruh waktunya.

Dengan cara ini, selain peneliti tetap terhubung dengan kelas dan pengajar tetap melakukan penelitian, konsistensi output akademik berupa pengajaran dan publikasi terjaga tanpa si akademisi merasa dipepet target. Saya catat, tak ada tahun terlewat tanpa publikasi di jurnal bereputasi. Ini membantu saya meniti karier, sekaligus membantu kampus meningkatkan kredibilitas. Kebiasaan ini berlanjut meski sudah tidak menjadi akademisi purnawaktu di Indonesia: memastikan selalu ada publikasi akademik setiap tahun betapa pun sibuknya saya bekerja.

Dalam kariernya, seorang peneliti boleh pindah track menjadi pengajar dan sebaliknya. Juga pindah universitas. Biasanya, tiap pindah jalur, apalagi pindah kampus, pangkat dan golongan (dan tentu gaji) akan ikut naik. Seorang akademisi yang mengawali karier di kampus A, dalam hidup profesionalnya bisa pindah ke kampus B, C, D, dan balik lagi ke A sebagai profesor. Itu wajar. Karena memang terbukti mobilitas (perpindahan) berkontribusi positif meningkatkan kapasitas.

Hal yang menarik, perpindahan ini juga berlaku dalam disiplin ilmu. Linearitas makin usang dan ditinggalkan. Akademisi dengan latar belakang sosiologi, master studi inovasi, dan doktor kebijakan publik bisa menjadi profesor kebijakan teknologi. Seorang farmakolog dengan master manajemen sains dan doktor kebijakan pembangunan bisa memimpin riset public health.

Lintas disiplin makin dihargai. Mungkin itu juga yang melejitkan karier saya di sana karena latar ilmu serbaneka: S-1 teknik industri, S-2 informatika, S-3 studi inovasi, dan post-doc sustainability dan dinamika pengetahuan. Di CDR terakhir 2012, reviewer mengatakan saya bisa menjadi profesor di bidang inovasi kebijakan pembangunan sebelum 2020 jika tetap bekerja di sana. Pulang ke Indonesia, karena lineritas ini, saya tidak yakin masih bisa meraihnya meski sudah kembali menjadi akademisi.

Mobilitas dalam sistem akademik di Inggris yang berdampak sistematik kepada kualitas sektor pendidikan dan penelitian ini nampaknya dimungkinkan karena tiga hal sederhana: sistem kerja sederhana berbasis FTE; gaji tunggal berbasis grade and spine; serta penilaian sejawat (peer review) berbasis kinerja.

 

Dua pelajaran

Dalam renungan, saya memikirkan dua pelajaran. Pertama, mengajar dan meneliti ada di jantung perkara yang memengaruhi hitam-putih dan mati-hidupnya ranah akademik dan intelektual—yang akhirnya menentukan nasib bangsa.

Mengajar adalah soal pendampingan dalam pembentukan selera (taste), hasrat (desire), dan kebiasaan (habit). Sementara meneliti adalah soal menata pemikiran (thinking), pencarian (inquiry), dan penjelasan (reasoning). Tanpa keduanya, keadaban bangsa takkan berkembang karena tak ada pijakan kuat bagi tindakan dan pemikiran.

Kesadaran ini menjadi dasar mengapa mengajar dan meneliti dihargai dan difasilitasi sedemikian rupa—baik di Inggris sana, di banyak negara maju lainnya, dan seharusnya juga di Indonesia. Itu mengapa tercantum ”mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam Pembukaan UUD 1945.

Namun sayang, praktiknya tidak demikian. Lihatlah nasib para akademisi di negeri ini. Mengajar dan meneliti di perguruan tinggi tidak dihargai dan difasilitasi secara memadai dan mencukupi. Malah dihambat lewat birokratisasi berdalih keharusan syarat administrasi.

Sistem kerja akademik menjadi demikian mekanik dan tak mendukung penciptaan pengetahuan karena kampus menjadi semakin mirip pabrik yang harus memproduksi sarjana sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya. Penilaian kinerja yang mestinya sederhana menjadi rumit dengan aturan angka kredit yang membuat akademisi terengah-engah mengejar target, tetapi menurunkan kualitas pengajaran dan penelitian. Pendapatan sebagai pengajar dan peneliti tidak memadai dibanding profesi lain dengan kualifikasi setara. Akibatnya akademisi terdemotivasi.

Benar, kita sudah mencoba mereformasi pendidikan tinggi, tetapi tidak cukup cepat dan masif untuk mewujudkan visi Indonesia 2045. Harus ada terobosan dan percepatan. Saya ajukan tiga usulan. Satu, sistem kerja akademisi disederhanakan dan dilepaskan dari birokratisasi kampus agar lebih fleksibel dan produktif. Memimjam ungkapan Mas Menteri Dikbudristek: ”merdeka mengajar dan meneliti”—tetapi yang sungguh-sungguh merdeka.

Tridharma perguruan tinggi mesti direvisi. Aspek ”pengabdian” tidak bisa dibebankan kepada individu akademisi, tetapi menjadi tanggung jawab institusi. Pengajaran dan penelitian yang berkualitas pasti melahirkan pengabdian bermutu. Kalau tidak, pengabdiannya pasti mengada-ada—seperti rebutan kejar setoran bicara di seminar-seminar tanpa membawa perubahan.

Dua, akademisi tidak dinilai menggunakan kerangka penilaian PNS/ASN umum meski mereka bekerja di kampus negeri dan berstatus pegawai pemerintah. Fokus penilaiannya: kinerja mengajar dan meneliti. Sistem angka kredit dihapus karena target mengejar kum justru menciptakan kelas yang membosankan dan tulisan asal-asalan di jurnal abal-abal. Ini menurunkan kualitas pengajaran, penelitian, dan publikasi secara keseluruhan.

Tridharma perguruan tinggi mesti direvisi. Aspek ”pengabdian” tidak bisa dibebankan kepada individu akademisi, tetapi menjadi tanggung jawab institusi.

Penilaian kinerja harus dikembangkan berdasar prinsip keadilan (fairness) dan penilaian sejawat (peer-review) yang sederhana dan tajam substansi tanpa kerumitan administrasi macam keharusan melampirkan hard-copy publikasi dalam borang penilaian padahal semua bisa diakses melalui DOI (Digital Object Identifier).

Tiga, remunerasi mesti memadai dengan jenjang karier yang jelas agar talenta terbaik mau menjadi akademisi. Tentu selalu ada bibit unggul yang tergerak motivasi luhur. Namun, itu bukan di kurva normal. Buktinya, perguruan tinggi kita tertinggal jauh dibanding negara lain baik dalam pengajaran maupun penelitian. Kita menginginkan kemajuan, tetapi membiarkan anak-anak kita diajar dan riset-riset kita dilakukan oleh bukan yang terbaik (second best). Kita mesti bisa merekrut pengajar dan peneliti terbaik untuk menguasai ilmu dasar—alam maupun sosial-humaniora—dan mendayagunakan ilmu terapan.

Kedua, reformasi pendidikan tinggi ini tidak akan terjadi tanpa komitmen politik dan teknokratik pemimpin negeri. Mengapa? Karena perlu sejumlah langkah signifikan yang mungkin tidak populer. Setidaknya ada lima.

Satu, realokasi anggaran negara untuk pendidikan tinggi. Dalam jangka pendek, negara harus turun tangan memastikan ada alokasi khusus anggaran pendidikan tinggi, yang bersama Dana Abadi Perguruan Tinggi digunakan membangun kapasitas dan meningkatkan kualitas kampus dalam mengajar dan meneliti melalui insentif remunerasi akademisi—khususnya di perguruan tinggi negeri. Dalam jangka panjang, kampus harus mampu memobilisasi sumber daya keuangan selain tersedianya dukungan anggaran negara.

Dua, ini berimplikasi pada perlunya memahami gambar besar dari 3.107 perguruan tinggi (96 persennya swasta) di negeri berpenduduk 274 juta orang ini. Bandingkan dengan China yang berpenduduk 1,4 miliar dengan 2.695 perguruan tinggi atau AS dengan 340 juta populasi dan 3.254 kampus.

Ini tidak mudah, tetapi arah ke depan adalah mengintegrasikan beberapa perguruan tinggi yang lebih kecil menjadi satu yang lebih besar, khususnya swasta. Pemerintah perlu menegaskan orientasi integrasi ini dalam upaya meningkatkan kualitas pengajaran dan penelitian dalam pendidikan tinggi baik swasta maupun negeri.

Tiga, pemisahan pengelolaan kepegawaian akademisi dari PNS/ASN lainnya. Meski berstatus PNS/ASN, hakikat meneliti dan mengajar di perguruan tinggi berbeda dari menyediakan layanan publik dan administrasi di kementerian, lembaga, dan kantor pemerintah daerah. Implikasinya, talenta akademisi mesti dikelola terpisah, diserahkan kepada institusi pendidikan tinggi di mana mereka bekerja. Yang perlu disiapkan adalah rujukan kualifikasi rekrutmen, kriteria penugasan meneliti dan mengajar, skema pengembangan karier, dan mekanisme evaluasi akademisi.

Empat, untuk itu di tingkat kebijakan pemerintah pusat, urusan riset, dan pendidikan tinggi harus dipisahkan dari urusan pendidikan dasar-menengah dan kebudayaan. Membebankan semua dalam satu kementerian bukan hanya tidak realistis secara kewenangan dan tanggung jawab, tetapi menunjukkan ketidakpahaman tentang pengelolaan penelitian dan pengajaran di pendidikan tinggi.

Pendidikan dasar-menengah dan kebudayaan ada di hulu (untuk membentuk karakter) sedangkan penelitian dan pengajaran pendidikan tinggi ada di hilir (untuk membangun kompetensi). Implikasinya? Dua kementerian terpisah: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (atau nomenklatur yang lebih tepat: Kementerian Sains, Teknologi, Inovasi, dan Pendidikan Tinggi).

Urusan penelitian dan pendidikan—dasar-menengah dan tinggi—tidak boleh menjadi urusan politik.

Terakhir, depolitisasi sektor pendidikan dan penelitian. Urusan penelitian dan pendidikan—dasar-menengah dan tinggi—tidak boleh menjadi urusan politik. Seperti Singapura, Finlandia, atau negara lain yang kualitas pendidikan dan penelitiannya tidak diragukan, sektor ini harus ditangani profesional. Kementeriannya jangan dijadikan sarana bagi-bagi kekuasaan, dan menteri-menterinya jangan berasal dari parpol, agar kebijakannya bisa berjangka panjang dan tidak selalu diubah atau dibatalkan menteri baru karena ego politik masing-masing.

 

Catatan akhir

Saat dipanggil pulang ke Tanah Air di masa pemerintahan Presiden SBY oleh Pak Kuntoro Mangkusubroto Kepala UKP4 (Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) tahun 2012, saya membawa kebanggan sebagai seorang akademisi Indonesia dengan pengalaman kerja cukup lama di luar negeri.

Bekerja untuk pemerintah sejak saat itu hingga kini, termasuk menjadi peneliti dan pengajar di sini, membuat saya makin yakin bahwa satu penanda penting Indonesia menjadi negara maju adalah saat akademisi kita bangga mengajar dan meneliti di negeri sendiri. Ini mesti jadi agenda para calon pemimpin bangsa.

 

Editor: YOVITA ARIKA

Share this post

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
AUTHOR

Yanuar Nugroho

Dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta; Visiting Senior Fellow di ISEAS Singapura; Honorary Fellow di University of Manchester Inggris; Pendiri dan Penasihat CIPG & NALAR Institute

Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) is a research-based advisory group which aspires to excel in the area of innovation, policy and governance.

Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) is a research-based advisory group which aspires to excel in the area of innovation, policy and governance.

office@cipg.or.id​

'Starting from March 2024, CIPG is implementing Work From Home'

© Copyright [cr_year]. Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG).​

© Copyright 2020. Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG).​

Scroll to top