2023: Menjaga Nalar, Merawat Harapan

Ilustrasi: Didie SW

2023: Menjaga Nalar, Merawat Harapan

Author:

Artikel opini ini pertama kali terbit di Harian Kompas (07/12/2022)

 

Ilustrasi: Didie SW

Ilustrasi: Didie SW

Tahun 2023 menentukan sejauh mana pergantian kekuasaan berjalan dalam demokrasi yang lebih dewasa. Politik pemilu tidak boleh mengabaikan perlindungan dan pemenuhan hak warga, tidak kehilangan harapan akan perbaikan.

 

Seusai memimpin kesepakatan pembangunan global di G20, fokus kita mesti kembali ke tantangan di dalam negeri.

Tahun 2023, saat dunia diprediksi memasuki resesi dan Indonesia mengalami perlambatan ekonomi, dinamika politik nasional menghadapi pemilu akan sangat tinggi. Ini mesti diantisipasi karena konsekuensinya memengaruhi banyak perkara: dari kesejahteraan dan layanan untuk warga hingga tata kelola hidup bernegara.

Tahun depan menandai mulainya transisi pemerintahan. Ibarat tegangan: antara mengejar kepentingan politis dan memastikan penyelenggaraan teknokratis bernegara. Tahun 2023 amat menentukan sejauh mana pergantian kekuasaan berjalan dalam demokrasi yang lebih dewasa.

Sebab, urusan politik pemilu tidak boleh mengabaikan perlindungan dan pemenuhan hak warga serta membuat mereka kehilangan kepercayaan kepada pemerintahan, apalagi harapan akan perbaikan.

Memahami keadaan dan menentukan sikap di tahun transisi ini penting. Sebab, yang dipertaruhkan bukan hanya keberlangsungan jalannya pemerintahan, melainkan juga masa depan bangsa.

 

Menerawang 2023

Setelah porak-poranda karena wabah, ekonomi global diperparah gejolak politik-keamanan, mulai dari Eropa hingga Asia Pasifik. Pasar keuangan dunia mengalami penyesuaian paling menyakitkan sejak krisis 2007-2008 (The Economist, 29/9/2022). Dampak perang Rusia-Ukraina, pengetatan moneter global, dan perlambatan ekonomi China menekan pertumbuhan ekonomi dunia (Economist Intelligence Unit, 2022).

Meski demikian, ekonomi domestik kita ”hanya” akan mengalami perlambatan karena derajat integrasi ke ekonomi global relatif rendah. Tetapi, perlu diperhatikan dampaknya pada lemahnya nilai tukar rupiah, risiko kredit bermasalah, dan tantangan moneter lainnya (Kompas, 12/10/2022).

Tahun depan, Bank Indonesia memperkirakan ekonomi hanya tumbuh 4,37 persen (Kompas, 21/11/2022). Namun, pemerintah lebih optimistis: 5,3 persen. Inflasi pun diperkirakan 3,3-3,6 persen, tingkat kemiskinan 7,5-7,8 persen, pengangguran terbuka 5,3-6 persen, ketimpangan (rasio gini) 0,375-0,378, dan Indeks Pembangunan Manusia 73,31-73,49 (Kemenkeu, 29/9/2022).

Angka mana pun yang dirujuk sulit untuk kembali on track keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap) yang mensyaratkan pertumbuhan minimal 6 persen. Pemerintah mesti meneruskan pemulihan dan reformasi struktural untuk mendorong kinerja perekonomian dan mengantisipasi risiko ketidakpastian.

 

Infografik Kompas

 

Selain itu, pemerintah juga mesti memprioritaskan perlindungan sosial bagi yang miskin karena paling terdampak perlambatan ekonomi ini.

Tetapi, saat ekonomi melambat, dinamika politik justru makin cepat karena pilpres dan pemilu serentak digelar pada 2024. Elektabilitas tiga capres bersaing ketat: Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto. Karena selisih ketiganya tipis, bukan hanya faktor cawapres jadi kritis (Kompas, 26/10/2022), melainkan juga kapasitas pasangan capres-cawapres menjalankan pemerintahan.

Sayangnya, hingga kini wacana publik masih hanya berkutat soal nama, citra, dan pesona. Bahkan, Presiden sendiri, meski bercanda, menyoal warna rambut dan kerutan muka, bukan kriteria.

Hemat saya (Kompas, 15/10/2022) pendekatan dangkal dan superfisial macam ini tidak hanya ”merendahkan” derajat debat dan kontestasi substansi para kandidat, tetapi juga bisa jadi bahan bakar sentimen tak sehat yang mampu mengubah barisan pendukung jadi penghujat.

Ini berbahaya. Mengapa? Pertama, diakui atau tidak, terjadi pembelahan di masyarakat akibat politik identitas dalam pilkada dan pilpres sebelumnya. Wajar jika penyelenggara dan peserta pemilu khawatir ini akan terulang di 2024 (Kompas, 7/10/2022), yang jika gagal dimitigasi bisa membawa disintegrasi (PARA Syndicate, 6/10/2022).

Apakah ini nyata atau mengada-ada? Jawabnya ada pada 2023. Kelompok masyarakat miskin dan berpendidikan rendah mungkin jadi lapisan sosial yang paling gampang dibelah dan dibakar sentimen primordialnya. Apalagi, karena paling terdampak pelambatan ekonomi, mereka mudah dijadikan massa bayaran.

Tetapi, pembelahan ternyata juga terjadi di kalangan menengah-atas. Mengapa? Sebab, akses pada sumber daya ekonomi dan teknologi tak dibarengi literasi untuk menangkal kabar bohong dan penyebaran kebencian. Akibatnya, sentimen semu seolah ideologis tumbuh subur di kalangan yang seharusnya lebih terdidik: cepat menempelkan label ”nasionalis”, ”agamais”, ”komunis”, atau lainnya pada kelompok yang tak disukai atau bahkan sekadar berbeda dari dirinya.

Kedua, terjadi pengotak-ngotakan lain: antara yang ”pro” dan ”anti” pada pemerintah. Ini mengada-ada. Bagi yang ”pro’, pemerintah tak bisa dan tak pernah salah karena itu jangan dikritik. Itulah mengapa mereka yang tak sependapat, apalagi terbuka menyampaikan kritik, akan segera dicap ”anti”. Padahal, kritik adalah alat evaluasi, bukan alasan untuk dipersekusi. Absennya perlindungan hukum memperparah situasi dan ruang gerak sipil makin terasa dibatasi.

Ketiga, jika terus dibiarkan pada 2023 nanti, ini semua akan makin menggerus nalar dan menghempaskan harapan tentang Indonesia yang lebih baik di masa depan. Kepercayaan bahwa pemerintah di masa transisi bisa melindungi dan memenuhi hak-hak warga akan sirna.

Padahal, pemerintah mestinya memastikan pergantian kepemimpinan nasional berjalan demokratis, aman, dan damai serta menjamin kesinambungan kebijakan pembangunan. Untuk itu, kuncinya adalah menjaga nalar warga pada 2023. Caranya? Memperkuat kapasitas negara (state capacity) dan konsolidasi masyarakat sipil.

 

Kapasitas negara dan masyarakat sipil

Pertama, state capacity mungkin akan berada di titik terendah 2023 nanti. Mengapa? Saat ini 18 menteri Jokowi berasal dari parpol. Bagi mereka, kerja politik akan lebih penting dari kerja teknokratik. Birokrat pun akan terseret dan kode etik aparatur sipil negara (ASN) tentang netralitas hanya jadi macan kertas.

Ini melemahkan kapasitas pemerintahan. Padahal, target pembangunan yang dijanjikan mesti dicapai: transformasi ekonomi, pembangunan infrastruktur, pembangunan manusia melalui layanan semesta kesehatan dan pendidikan, reformasi birokrasi, serta penyederhanaan perizinan. Juga penuntasan pemulihan ekonomi pasca-pandemi dan pemindahan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang jadi komitmen Presiden sendiri.

Karena itu, pemerintah perlu menata ulang sejumlah prioritas. Satu, memastikan pembangunan IKN tidak mengorbankan akses dan kualitas layanan publik serta jalannya birokrasi. Mulai dari alokasi anggaran untuk pembiayaan infrastruktur, eksekusi lapangan yang tidak boleh mengabaikan komunitas lokal, hingga skenario pemindahan ASN.

Padahal, pemerintah mestinya memastikan pergantian kepemimpinan nasional berjalan demokratis, aman, dan damai serta menjamin kesinambungan kebijakan pembangunan.

Dua, fokus pada layanan publik di sektor kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial, dan penguatan ekonomi kecil-informal. Ini perlu karena dampak perlambatan ekonomi paling dirasakan di hulu.

Tiga, menuntaskan aturan turunan undang-undang (UU) baru agar tidak jadi beban politik masa depan. Di antara yang paling krusial adalah UU Perlindungan Data Pribadi yang sebenarnya menjadi payung hukum kunci di zaman digital ini, tetapi hingga kini belum ada aturan pelaksanaannya.

Empat, mengembalikan kepercayaan warga pada supremasi hukum yang rusak setelah pemberhentian semena-mena Ketua Mahkamah Konstitusi yang tak bisa dikoreksi Presiden karena alasan administratif (Kompas, 23/11/2022).

Memastikan penegakan hukum memang sulit, tetapi ia harus jadi prioritas, khususnya agar tak ada keraguan saat pemilu dan pilpres digelar nanti. Sebab, daulat hukum adalah syarat mutlak demokrasi.

Kedua, menata birokrasi agar simbiosis penguasa-pengusaha—kerap disebut oligarki—tidak merajalela tanpa akuntabilitas di eksekutif ataupun legislatif. ”Peta Pebisnis di Parlemen” (Marepus Corner, 2020) menunjukkan 318 (55 persen) anggota DPR periode 2019-2024 adalah pengusaha.

Demikian juga mayoritas menteri, kepala badan, pejabat publik, dan aparat penegak hukum. Meski tak ada larangan pengusaha terjun dalam politik dan pemerintahan, harus dipastikan kepentingan bisnis tidak membentur—apalagi meremuk—kepentingan publik yang lebih luas, khususnya menjelang pemilu.

Ini mulai dari kebijakan makro seperti ekspor-impor komoditas, tata ruang dan tata guna lahan, hingga perkara yang tampak kecil, tetapi berdampak sistemik jangka panjang seperti kampanye susu formula bayi dan makanan-minuman instan berkadar gula-garam-lemak tinggi. Realitas biaya politik yang mahal memang membuat relasi pengusaha-politisi kian kental. Akhirnya, ia menyuburkan oligarki, membuat negara tercaplok, dan kapasitasnya anjlok.

Karena itu, sementara reformasi birokrasi butuh waktu, beberapa langkah taktis dan strategis perlu dipikirkan. Secara taktis, pemerintah dan penyelenggara pemilu harus tegas melarang para kandidat dan politisi yang menjadi pejabat menggunakan fasilitas negara untuk kerja-kerja politik mereka.

Secara taktis, pemerintah dan penyelenggara pemilu harus tegas melarang para kandidat dan politisi yang menjadi pejabat menggunakan fasilitas negara untuk kerja-kerja politik mereka.

Lalu lintas dana mereka juga harus ketat diawasi. Secara strategis, Presiden bisa mengangkat wakil menteri atau kepala badan dari kalangan profesional atau teknokrat untuk melapis anggota kabinet yang berasal dari parpol agar birokrasi tidak berjalan tanpa pengemudi. Ini penting untuk memastikan janji politik terpenuhi dan prioritas pembangunan tercapai.

Hal strategis lain adalah memastikan komunikasi kebijakan jelas dan tak mendua agar data dan fakta tentang kebijakan, program, dan hasil kerja pemerintah tak gampang dipelintir jadi kabar bohong untuk menyulut ujaran kebencian.

Ketiga, konsolidasi masyarakat sipil menjadi kunci menghadapi polarisasi, mengkritisi kinerja pemerintah dan parlemen, serta mengawal demokrasi substansial. Tetapi, ini tidak mungkin terjadi jika mereka tercerai-berai. Organisasi masyarakat sipil (OMS) mesti mengonsolidasikan diri, tidak ikut-ikutan rebutan panggung politik atau sikut-sikutan rebutan proyek.

Karena itu, penting dan mendesak bagi mitra pembangunan dan lembaga donor duduk bersama OMS merancang agenda strategis—bukan hanya teknis mengejar target dan membuat mereka tidak kritis dan malah makin birokratis.

Kemauan dan ketegasan menjaga nalar dan merawat harapan warga adalah kunci mewujudkan gagasan dan cita-cita bernama Indonesia—yang lebih adil, lestari, makmur, dan sejahtera.

Satu, inisiatif untuk memitigasi dampak pembelahan akibat politik identitas di masa lalu dan mencegahnya terulang dalam pemilu dan pilpres mendatang. Dua, penguatan kapasitas untuk kritis mengawal program dan kebijakan pemerintah dan parlemen serta jika mungkin sepak terjang bisnis.

Tiga, membangun platform dialog berbagai simpul masyarakat sipil agar debat seputar pemilu dan pilpres ”naik kelas”: bukan hanya soal nama, melainkan juga gagasan menjawab tantangan pembangunan. Saat ekonomi makin sulit, ruang sipil menyempit, dan dinamika politik melumpuhkan kapasitas pemerintahan, OMS mesti berani bersuara atas dasar data dan fakta ketika—bukan jika— ada ketidakberesan di ruang publik.

Akhirnya, yang membentuk masa depan adalah gagasan dan cita-cita. Kemauan dan ketegasan menjaga nalar dan merawat harapan warga adalah kunci mewujudkan gagasan dan cita-cita bernama Indonesia—yang lebih adil, lestari, makmur, dan sejahtera. Itu amanat konstitusi yang mesti berani kita jalankan bersama-sama.

 

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN

2023: Menjaga Nalar, Merawat Harapan

Share this post

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
AUTHOR

Yanuar Nugroho

Dosen STF Driyarkara, Visiting Senior Fellow ISEAS Singapura, Penasihat Centre for Innovation Policy & Governance (CIPG)

Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) is a research-based advisory group which aspires to excel in the area of innovation, policy and governance.

Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) is a research-based advisory group which aspires to excel in the area of innovation, policy and governance.

office@cipg.or.id​

'Starting from March 2024, CIPG is implementing Work From Home'

© Copyright [cr_year]. Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG).​

© Copyright 2020. Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG).​

Scroll to top