Dengan pengguna aktif mencapai 106 juta dan pertumbuhan pengguna aktif mencapai 34% (We Are Social, 2016), media sosial di Indonesia tumbuh menjadi pasar yang menarik secara ekonomis maupun politis. Peluang meraup untung maupun menggaet massa ini lantas dimanfaatkan oleh berbagai aktor, mulai dari industri periklanan hingga para pemain politik. Para pelaku ini menyuarakan kepentingannya dengan kicauan berbayar. Konon, pengicaunya adalah tokoh yang dinilai punya pengaruh–atau yang belakangan ini kerap disebut dengan istilah buzzer.
Gaduh Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 dan panasnya Pemilu Presiden 2014 yang diwarnai penyebaran informasi palsu (hoax) dan polarisasi warga adalah cermin besarnya pengaruh buzzer dalam membentuk percakapan di ranah daring. Fenomena buzzer di media sosial telah mengaburkan batas antara voice (suara warga) dengan noise (kondisi bising). Belakangan, menjamurnya akun-akun buzzer–dengan beragam jenis dan motifnya–kian tak terkendali. Gagasan bahwa media sosial berkontribusi besar sebagai sarana partisipasi warga dalam pembangunan mulai terancam. Sayangnya, upaya untuk memperkuat ruang publik terkendala oleh minimnya pemahaman mengenai apa itu buzzer dan dalam konteks apa buzzer mampu memengaruhi opini publik.
Penelitian ini berupaya untuk menjawab pertanyaan kunci tentang proses seseorang menjadi buzzer, karakter umum buzzer, serta bagaimana buzzer beroperasi, termasuk di dalamnya adalah lanskap industri buzzing. Pada akhirnya, fenomena buzzer penting dipahami secara utuh agar publik mampu menilai sejauh mana buzzer bisa ditempatkan dalam koridor demokrasi, sekaligus mengambil langkah-langkah yang perlu untuk memperkuat ruang-ruang publik.