Tantangan Masa Depan Pemerintahan Prabowo

Tantangan Masa Depan Pemerintahan Prabowo

Tantangan Masa Depan Pemerintahan Prabowo

Penulis:

Artikel ini pertama kali terbit di Kompas pada tanggal 23 Oktober 2024.

 

Untuk mewujudkan Astacita, perkara ”governance” dan ”state capacity” akan menjadi tantangan terbesar ke depan.

Tantangan Masa Depan Pemerintahan Prabowo

Pada 20 Oktober 2024, Prabowo Subianto resmi dilantik menjadi Presiden kedelapan Indonesia. Dengan delapan visi, Astacita, ia menjanjikan masa depan negeri lebih baik dari kemarin dan hari ini.

Sebagian ragu Prabowo mampu memenuhi janji itu karena masa lalu dan mengkhawatirkan dampak manuvernya di pemilu. Sebagian lagi percaya ia akan menuntaskan janjinya menciptakan era baru, lepas dari bayang-bayang Joko Widodo sang pendahulu.

Namun, soal masa depan bangsa bukan perkara ragu atau percaya, apalagi hanya meramalkan atau memperkirakannya, melainkan mesti secara jernih memetakan tantangan, merancang dan mengantisipasi sejumlah kemungkinan ke depan, serta secara cermat menyiapkan peta jalan. Ini mesti dilakukan Prabowo dan para pembantunya sebagai langkah awal saat memerintah.

Tantangan mendasar
Hidup kita, termasuk hidup bernegara, dibentuk dari rangkaian peristiwa (events) dan kecenderungan (trends).

Sepuluh tahun di bawah Jokowi, sejumlah indikator pembangunan menunjukkan tren kemajuan, khususnya infrastruktur, layanan publik, penanganan kemiskinan, dan pengembangan kualitas manusia. Ini mesti diapresiasi.

Namun, sebagian masih kurang atau cenderung mundur, seperti soal ketimpangan ekonomi, ketergantungan pada sumber daya alam dan lingkungan, mandeknya reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi, penegakan hukum, serta perlindungan hak asasi manusia yang problematik.

Karena itu, untuk membentuk, apalagi memperbaiki masa depan negeri, mesti berani jujur mencermati kunci keberhasilan Jokowi dan apa yang menghambatnya. Prabowo dan tim tentu sudah melakukannya. Hemat saya, ada dua perkara mendasar dan saling terkait yang menjadi faktor pendorong sekaligus penghambat pembangunan selama ini: tata kelola (governance) dan kapasitas negara (state capacity).

Tentu gegabah mengatakan seluruh governance pemerintahan kita buruk. Ini sama ngawurnya dengan klaim bahwa tata kelola kita baik-baik saja semuanya. Perluasan cakupan perlindungan sosial, atau peningkatan kualitas layanan publik selama ini, misalnya, berhasil dicapai karena tata kelola yang relatif baik di sektor itu. Namun, ketimpangan, kerusakan lingkungan, korupsi, dan lemahnya perlindungan HAM terjadi karena tata kelola yang cenderung lemah dan buruk.

Sama halnya state capacity, yakni kemampuan institusi pemerintahan menjalankan pembangunan. Sejumlah kementerian/lembaga (K/L) dan institusi daerah yang menangani sektor hulu, seperti pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, menunjukkan kinerja relatif membaik meski tentu masih bisa diperbaiki di sana-sini.

Sementara penanganan sektor hilir (misalnya industri, pendidikan tinggi, riset-inovasi) dan pemungkin (enabler) pembangunan (perencanaan, penganggaran, birokrasi, hukum-demokrasi) belum sungguh optimal. Ini menyebabkan inefisiensi, pemborosan sumber daya, dan macetnya partisipasi publik bermakna dalam pembuatan kebijakan.

Astacita Prabowo berfokus pada komitmen terhadap kedaulatan nasional, kemandirian ekonomi, dan keadilan sosial. Baginya, negara yang kuat tak hanya mampu membela diri, tetapi juga mandiri di sektor kunci, seperti pertanian, energi, dan infrastruktur.

Visi ini memandang kekuatan ekonomi sebagai bagian integral keamanan nasional. Astacita ini diturunkan dalam 17 prioritas yang mencakup swasembada dalam pangan, energi, dan air; reformasi birokrasi dan hukum, dengan penekanan pada pemberantasan korupsi; memperluas cakupan layanan kesehatan dan akses pendidikan; mengatasi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi; serta mendukung UMKM dan mendorong investasi.

Layanan pemerintah harus sampai ke masyarakat yang membutuhkannya.

Jelaslah, untuk mewujudkan Astacita, perkara governance dan state capacity ini akan menjadi tantangan terbesar ke depan. Keseriusan Prabowo dilihat dari sejauh mana ia memprioritaskan urusan tata kelola dan kapasitas negara dalam pemerintahannya. Dari mana mulainya?

Membenahi tata kelola
Pertama dan terutama: membenahi tata kelola pemerintahan. Dengan perubahan UU Kementerian Negara, Prabowo merombak struktur dan nomenklatur kabinet dengan membentuk kementerian dan badan baru. Suka atau tidak, ini prerogatifnya. Meski ada yang khawatir ekspansi kabinet dilakukan sekadar untuk mengakomodasi kepentingan politiknya, sebenarnya ini bisa menjadi kesempatan emas Prabowo untuk menata ulang tata pemerintahannya.

Dia mesti bisa menunjukkan bahwa kabinetnya profesional meski harus merangkul sekutu politiknya. Jika kabinetnya ternyata politis-akomodatif-transaksional, hukum alam tak bisa dilawan: Astacita berisiko gagal diwujudkan.

Selain penataan kabinet, ada tiga agenda utama tata kelola. Pertama, integrasi perencanaan dan penganggaran.

Sejak tumbangnya Orde Baru, runtuh pula kesatuan perencanaan dan penganggaran menjadi rezim terpisah: perencanaan ditangani Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan penganggaran oleh Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan.

Akibatnya, perencanaan tak seiring-sejalan dengan penganggaran. Korbannya pemerintah sendiri. Memang sudah dicoba integrasi aplikasi Krisna dan Sakti sebagai amanat Peraturan Pemerintah No 17/2017 tentang Sinkronisasi perencanaan dan penganggaran, tetapi tak cukup.

Prabowo harus berani mengintegrasikan perencanaan dan penganggaran: satukan Ditjen Anggaran dengan Bappenas. Seperti Amerika membentuk Office of Management and Budget (OMB) atau Inggris dan Afrika Selatan punya Treasury (perbendaharaan) langsung di bawah presiden atau perdana menteri. Semua negara maju mengintegrasikan perencanaan dan penganggarannya. Kita juga mesti begitu jika mau maju.

Kedua, pembenahan tata kelola kelembagaan dan reformasi birokrasi. Prabowo menginginkan Ditjen Bea dan Cukai serta Ditjen Pajak dipisahkan dari Kemenkeu dan disatukan dalam Badan Penerimaan Negara. Pemisahan ini, beserta penyatuan Ditjen Anggaran ke Bappenas, tepat. Semoga sungguh dijalankan.

Namun, harus hati-hati untuk melakukan hal yang sama dengan K/L lain dan untuk mendirikan yang baru. Mengapa? Satu, penataan ulang, apalagi pembentukan K/L baru, butuh waktu sebelum bisa beroperasi sepenuhnya.

Ingat, pembentukan Badan Restorasi Gambut, Badan Riset dan Inovasi Nasional, Otorita IKN, dan lain-lainnya? Urusan struktur organisasi dan tata kelola, penggajian, dan aturan kerja, semuanya tak bisa seketika.

Dua, kabinet yang ”gemuk” tak mudah dikoordinasi dan rendah efisiensi. Akibatnya, riskan tak bisa berlari kencang. Dalam kondisi ini, reformasi birokrasi jadi keharusan. Fokus reformasi birokrasi adalah menciptakan birokrasi kelas dunia, bukan kelas dua. Bukan rahasia bahwa talenta-talenta terbaik bangsa tak bekerja untuk negara. Mereka memilih bisnis atau jadi pengusaha. Alasannya: pendapatan dan penghargaan.

Prabowo perlu melibatkan KPK dan BPKP bersama lembaga kepresidenan dalam merencanakan, mengawasi implementasi, hingga mengevaluasi capaian pembangunan.

Karena itu, kuncinya adalah kemauan menghargai SDM birokrasi dengan fair, memadai. Prabowo memang menjanjikan kenaikan gaji ASN. Namun, itu kurang mendasar. Mestinya, reformasi tata kelola ASN. Intinya, rekrutmen dan pengembangan karier berdasarkan kompetensi, gaji layak—tak boleh lebih rendah dari pegawai swasta untuk kualifikasi setara—dan tunggal (single and decent salary system), adil, berdasarkan kinerja.

Ketiga, tata kelola pengawasan dan pengendalian pembangunan. Astacita ambisius. Bisa diwujudkan atau tidak, tergantung bukan hanya pada perencanaan dan implementasi, melainkan bagaimana prioritas Presiden diawasi dan dikendalikan. Ini karena tantangan koordinasi lintas K/L kian besar. Sementara mereka bekerja terkotak-kotak di sektor masing-masing, apalagi di kabinet yang besar.

Mesti ada institusi yang menjembatani dan mengoordinasikan kabinet yang tak bisa ditangani menteri koordinator. Ini bisa seperti Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalopbang) era Soeharto, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) era Susilo Bambang Yudhoyono, Kantor Staf Presiden era Jokowi, atau sekaligus saja ditangani Bappenas versi ”baru”—Badan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Nasional—yang melekat pada Presiden.

Setelah, atau tepatnya sembari, membenahi ketiga agenda governance ini, state capacity perlu dibangun dan ditingkatkan. Bagaimana caranya?

Membangun kapasitas negara
Kapasitas negara saya definisikan sebagai kemampuan pemerintah mewujudkan pembangunan melalui lima hal: regulasi, institusi, akuntabilitas, perencanaan, dan implementasi. Problematika kinerja pemerintah—yang ditandai maraknya pemborosan sumber daya dan keluasan korupsi—membuka mata bahwa kapasitas negara kita mengkhawatirkan.

Saya usulkan lima agenda penguatan kapasitas negara. Pertama, kapasitas penyiapan regulasi. Birokrasi tak bisa berjalan tanpa regulasi, agar kebijakan (apa pun yang diputuskan dilakukan atau tak dilakukan pemerintah) bisa terwujud.

Perlu regulasi yang sederhana, tegas, jelas, dan tak tumpang tindih agar birokrasi bekerja efektif, efisien, dan bersih, dari pusat hingga daerah. Prabowo perlu menyisir (mengevaluasi, merevisi, jika perlu menghapus sebelum membuat yang baru) semua aturan guna memastikan semua optimal memberi arah dan koridor bagi kerja birokrasi.

Kedua, kemampuan menata kerangka kelembagaan. Tantangan utama Prabowo dengan kabinet besarnya adalah koordinasi dan efisiensi. Tak ada satu aspek pun dalam pembangunan, termasuk seluruh janji Astacita, yang berdiri sendiri. Makan siang gratis, misalnya, bukan hanya tanggung jawab Badan Gizi.

Ia juga portofolio kementerian kesehatan, pendidikan, UKM-koperasi, dan lain-lain. Selain memastikan kabinet bisa lekas lari kencang, penting menunjuk penanggung jawab tertinggi pelaksanaan prioritas pemerintah. Banyaknya K/L yang baru dibentuk dan dirombak menuntut kejelasan dan efektivitas kelembagaan penanganan prioritas nasional agar birokrasi efisien dan optimal.

Ketiga, kapasitas menciptakan mekanisme akuntabilitas. Korupsi terjadi karena tiadanya akuntabilitas. Karena itu, semua kerja pemerintah harus dipertanggungjawabkan. Keberhasilan atau kegagalan mencapai target pembangunan jadi indikasi akuntabilitas dan serius-tidaknya pemerintah bekerja.

Prabowo perlu melibatkan KPK dan BPKP bersama lembaga kepresidenan dalam merencanakan, mengawasi implementasi, hingga mengevaluasi capaian pembangunan. Ini penting guna memastikan sumber daya tak dikorupsi dan pemerintah tak bekerja setengah hati.

Keempat, kemampuan membuat perencanaan dan kebijakan. Penyusunan rencana dan kebijakan mensyaratkan tiga hal. Satu, penggunaan data dan bukti. Pengetahuan harus diintegrasikan dalam perencanaan dan kebijakan: data dan bukti mesti jadi pertimbangan dan referensi (evidence-based policy).

Keberhasilan pemerintahan dan kepemimpinannya akan dinilai dari kemampuan memenuhi janji politiknya untuk menyejahterakan rakyat dan memperbaiki kinerja pemerintahan.

Dua, partisipasi publik yang inklusif guna memastikan perspektif masyarakat sipil dan aktor non-pemerintah dipertimbangkan dalam perencanaan dan kebijakan. Tiga, kualitas perencana dan pembuat kebijakan yang lebih baik, terlatih, dan terpapar tradisi intelektual agar debat dan diskusi lebih bermutu.

Jangan sampai pemerintah dipandang tidak mau menggunakan data dan bukti, bahkan dikritik anti-sains. Tujuannya supaya perencanaan dan kebijakan makin berkualitas, dan dampak-tak-termaksud (unintended consequences)-nya bisa diantisipasi.

Terakhir, kemampuan negara mengimplementasikan. Di lapangan yang selalu rawan penyelewengan, implementasi butuh disiplin dan keketatan: siapa melakukan apa, kapan, di mana, dan bagaimana. Demikian juga pengawasan, evaluasi, dan koreksinya. Layanan pemerintah harus sampai ke masyarakat yang membutuhkannya.

Ada beda mendasar antara implementasi yang ”tegas” dan ”keras”. Di hulu, ketegasan dibutuhkan agar masyarakat mengikuti aturan tanpa harus menjadi keras, apalagi kasar. Di hilir, pemerintah juga mesti disiplin pada diri dan aparatnya: memastikan agar layanan diterima warga dengan mudah, murah, dan cepat—bebas sogokan, pungli, dan korupsi.

Membentuk masa depan
Prabowo tak punya banyak waktu. Karena itu, ia mesti punya tekad dan niat. Keberhasilan pemerintahan dan kepemimpinannya akan dinilai dari kemampuan memenuhi janji politiknya untuk menyejahterakan rakyat dan memperbaiki kinerja pemerintahan.

Ia punya peluang membentuk masa depan negeri dengan memastikan kemakmuran, stabilitas, dan keadilan bagi semua lewat reformasi pembangunan yang bermakna, pembenahan tata kelola, dan penguatan kapasitas negara.

Tantangan Masa Depan Pemerintahan Prabowo

Bagikan postingan ini

PENULIS

Yanuar Nugroho

Dosen STF Driyarkara, Visiting Senior Fellow ISEAS Singapura, Penasihat Centre for Innovation Policy & Governance (CIPG)

Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) adalah wadah pemikir (think tank) berbasis penelitian yang bercita-cita unggul dalam bidang inovasi, kebijakan, dan tata kelola.

Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) adalah wadah pemikir (think tank) berbasis penelitian yang bercita-cita unggul dalam bidang inovasi, kebijakan, dan tata kelola.

office@cipg.or.id​

Mulai Maret 2024, CIPG menerapkan mode bekerja dari rumah (Work From Home)

Kembali ke Atas