Artikel ini pertama kali terbit di Kompas pada tanggal 5 Juni 2024.
Dalam demokrasi, satu perkara mendasar adalah memastikan adanya kontrol dan penyeimbang praktik kekuasaan.
Berbagai kejadian dalam hidup bernegara akhir-akhir ini membuat kening makin berkerut.
Jurnalisme investigatif terancam diberangus, batas jumlah menteri akan dihapus, hakim Mahkamah Konstitusi yang berintegritas mau disingkirkan, sebaliknya masa jabatan Kapolri hendak diperpanjang. Mahasiswa dipaksa berutang untuk kuliah, gaji pekerja dipotong buat iuran perumahan.
Semua itu dilakukan lewat aturan. Yang menyesakkan adalah fakta bahwa warga negara disingkirkan dari seluruh proses pembuatan aturan. Semua tiba-tiba tinggal menunggu eksekusi. RUU tinggal ketok palu, aturan siap dijalankan, tanpa konsultasi publik memadai.
Di sisi lain, ruang sipil terasa kian menyempit. Kritik aktivis dibaca sebagai ancaman, ekspresi seniman dan budayawan dianggap perlawanan, protes mahasiswa diladeni aparat dengan semena-mena. Ini saatnya mencerna kondisi hidup bernegara dan langkah selanjutnya.
Kontrol dan penyeimbang
Dalam demokrasi, satu perkara mendasar adalah memastikan adanya kontrol dan penyeimbang (checks and balances) praktik kekuasaan. Peran ini dipegang mereka yang menempatkan diri di luar struktur kekuasaan, tidak bergabung atau menjadi bagian dari penguasa.
Dalam sistem parlementer, namanya oposisi. Dalam sistem presidensial, istilah oposisi tidak dikenal, tetapi fungsinya tetap diperlukan. Kalau dalam sistem parlementer oposisi ada karena perbedaan ideologi yang diametral, dalam sistem presidensial fungsi oposisi bisa sengaja dihilangkan. Apalagi jika tidak ada perbedaan ideologi mendasar antara yang menang dan kalah dalam kontestasi kuasa seperti pemilu. Mengapa? Agar yang kalah tidak mengganggu.
Maka, tak heran dalam sistem presidensial, pemenang pemilu berusaha merangkul yang kalah, baik di legislatif maupun eksekutif. Di Indonesia, ini terasa biasa, normal, bahkan mendapat legitimasi kultural: menjunjung budaya Timur sebagai bangsa rukun yang cinta damai, tak perlu ada pertentangan. Fungsi oposisi sengaja dimatikan.
Yang dikatakan presiden terpilih Prabowo Subianto, ”Kalau tak mau membantu, jangan mengganggu” (Kompas, 10/5/2024), persis menunjukkan logika ini.
Juga arahan Presiden Joko Widodo untuk ”menetralkan residu politik” pasca-Pemilu 2024 (Kompas, 28/2/2024) yang sebenarnya merujuk pada berbagai kritik atas penyelenggaraan pemilu yang bermasalah. Berpijak pada logika bengkok yang sama. Maka, jangan heran kalau aparat dan penyelenggara negara kompak bak paduan suara: jangan beroposisi dan jangan bertindak seperti oposisi—memprotes, mengkritik, apalagi menggugat kebijakan pemerintah.
Celakanya, ini membuat para pendukung dan pendengung (buzzer) merasa diberi ruang untuk main hakim di jalanan, menekan mereka yang dianggap mengganggu. Represi terhadap masyarakat sipil, akademisi, dan warga, bahkan pengusiran Pelapor Khusus PBB dalam People’s Water Forum yang diselenggarakan saat World Water Forum di Bali (Kompas, 22/5/2024) adalah buktinya.
Memang, jika kekuasaan dibiarkan berjalan semaunya, bisa diduga ujungnya: kepemimpinan laksana tiran dan praktik kuasa semena-mena bak mafia. Inilah mengapa, dalam kehidupan bernegara, kita perlu kontrol dan penyeimbang. Kebutuhan fungsi oposisi makin mendesak meski kita negara presidensial.
Yang menyesakkan adalah fakta bahwa warga negara disingkirkan dari seluruh proses pembuatan aturan.
Kemendesakan
Mendesaknya fungsi oposisi ini bukan hanya karena berbagai aturan baru ternyata bermasalah, melainkan juga karena akibatnya akan meremukkan berbagai aspek hidup warga dan memengaruhi kapasitas negara (state capacity).
Di sinilah pentingnya mendudukkan fungsi oposisi ini. Persis justru karena praktik kuasa tanpa kendali bisa semena-mena. Rangkaian persoalan akhir-akhir ini menunjukkan gejala itu.
Pertama, upaya pemberangusan jurnalisme investigatif melalui revisi UU Penyiaran yang drafnya ditolak banyak akademisi, jurnalis, dan ormas sipil. Revisi UU ini melarang liputan dan penayangan produk eksklusif hasil jurnalisme investigasi. Padahal, investigasi merupakan fondasi aktivitas jurnalistik karena menyampaikan informasi yang tak selalu bisa dijangkau warga.
Ia juga mengancam jurnalis dengan pasal kriminalisasi multitafsir karena mengatur penayangan isi siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme. Intensi membungkam kemerdekaan pers ini menunjukkan gejala pemerintah yang tak tahan kritik.
Kedua, penghilangan pembatasan jumlah kementerian melalui revisi UU Kementerian yang diduga untuk mengakomodasi kepentingan politik balas budi Prabowo (Kompas, 10/5/2024).
Logika ini sesat dan salah kaprah. Semestinya justru dikurangi karena bisa dikonsolidasi. Misal, pemberdayaan perempuan dan anak dengan sosial, olahraga dengan pendidikan. Negara maju seperti Amerika Serikat hanya punya 15 kementerian, China 26, Inggris 24, Australia 30. Mengapa konsolidasi? Karena makin banyak kementerian, kian sulit koordinasi dan makin parah ego sektoral dan pengotak-ngotakan. Akibatnya, implementasi program pembangunan terhambat.
Ketiga, revisi dua UU penegakan hukum yang diduga sarat kepentingan politik. Revisi UU MK memperpendek masa jabatan hakim konstitusi dan diduga menyasar para hakim MK yang berintegritas agar bisa dicopot, tetapi memperpanjang masa jabatan ipar Jokowi. Sementara revisi UU Kepolisian justru ditengarai untuk memperpanjang masa jabatan Kapolri.
Yang sedang dihancurkan sebenarnya adalah kepercayaan publik pada supremasi hukum: regulasi setinggi UU pun mudah dibengkokkan. Bagi investor, kepastian hukum adalah pertimbangan utama. Tekuk-menekuk hukum ini bukan membanggakan, tapi memalukan.
Terakhir, setelah publik menolak dan kebijakan uang kuliah tunggal ditangguhkan, muncul kebijakan iuran wajib Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) bagi pekerja swasta. Debat soal UKT dan Tapera ini panjang. Namun, untuk keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah dan mengejar mimpi Indonesia Emas 2045, negara harus hadir di sektor pengetahuan dan ketenagakerjaan yang menjadi penggerak utama ekonomi. Perkara di atas menunjuk dua tantangan hidup bernegara ke depan.
Dua tantangan
Pertama, praktik demokrasi yang cenderung prosedural, bukan substansial, mengakibatkan menyempitnya ruang sipil (the shrinking of civic space). Status sebagai ”demokrasi cacat/terbatas” (flawed democracy) (Economist Intelligence Unit, 2023) jadi pengingat penting, demokrasi kita ke depan mesti makin hakiki. Kebebasan sipil berpendapat tak cukup dihormati, tapi juga harus dilindungi.
Ini tugas pemerintah melalui aparat penegak hukum (APH) dan militer: tidak membiarkan pengadilan jalanan menihilkan demokrasi dengan dalih stabilitas keamanan. Pemerintah juga mesti tegas menolak pasal-pasal pelarangan jurnalisme investigatif dalam revisi UU Penyiaran. Ini semua untuk mencegah Indonesia terpuruk lebih jauh ke dalam rezim otoriter-demokratis—kelihatannya demokratis, tetapi sebenarnya otoriter membunuh substansi demokrasi.
Yang sedang dihancurkan sebenarnya adalah kepercayaan publik pada supremasi hukum: regulasi setinggi UU pun mudah dibengkokkan.
Kedua, rendahnya kapasitas negara, yakni kemampuan pemerintah menjalankan pembangunan sejak penyiapan kerangka regulasi, penataan institusi, penyusunan mekanisme akuntabilitas, mobilisasi sumber daya, hingga perencanaan-pengendalian pembangunan, baik di pusat maupun daerah (Tilly, 1985; Nugroho & Sujarwoto, 2021).
Berbagai kejadian hukum dan politik belakangan ini menunjuk empat persoalan kehidupan bernegara ke depan: penegakan hukum, kepercayaan publik, tata kelola, dan konflik kepentingan.
Keempatnya mesti ditangani: penegakan hukum tak boleh tebang pilih, kepercayaan warga kepada pemerintah mesti dibangun kembali dan dijaga, tata kelola yang baik mesti jadi norma utama Republik, serta konflik kepentingan tak boleh merintangi pembangunan. Itu mengapa Prabowo mesti punya komitmen meningkatkan kapasitas negara.
Caranya? Banyak. Namun, ada empat kuncinya. Pertama, reformasi hukum dan tata kelola untuk membangun dan menata keadaban publik. Sudah terlalu lama hukum hanya menjadi alat politik dan tata kelola sekadar pemanis menutupi konflik kepentingan yang kronis.
Tanpa keduanya, tak akan ada capaian pembangunan yang bermakna dan kredibilitas pemerintahan baru akan ambruk terpuruk. Tak mudah mengembalikan kepercayaan publik pada hukum, moralitas, apalagi etika. Namun, ini mesti menjadi agenda utama. Ini bisa dimulai dari janji pemerintah baru melawan korupsi dengan menguatkan KPK dan mengembalikannya jadi independen.
Kedua, penataan kabinet dan kementerian. Sebaiknya Prabowo tidak tergoda membesarkan kabinet karena tak sepadan dengan risiko kesemrawutan pelaksanaan pembangunan akibat kabinetnya sendiri. Kabinet mesti modern: ramping, agile (luwes), berfokus pada kinerja, dan akuntabel.
Akan tetapi, mengubah formasi kementerian di awal pemerintahan memang mahal harganya: tak bisa lari cepat dan pembangunan bisa terhambat. Mesti dibuat strategi penataan berdasarkan agenda kunci reformasi pembangunan: perencanaan terintegrasi dengan penganggaran; prioritas pembangunan dan keuangan pusat sinkron dengan daerah; penerimaan negara, inspektorat, pengawasan keuangan, dan pengendalian pembangunan terkoordinasi dalam lembaga kepresidenan.
Untuk efektivitas koordinasi, bisa dipertimbangkan mekanisme komite antarkementerian untuk penanganan isu atau eksekusi prioritas yang kompleks dan melibatkan banyak lembaga (misalnya, ”makan siang/bergizi gratis”).
Komite ini juga bisa menggantikan peran kementerian koordinator jika mau merampingkan kabinet. Menteri mesti teken pakta integritas: tidak korupsi dan siap diganti jika kerjanya tak tuntas. Jabatan menteri sebaiknya diisi profesional. Kalaupun politisi, wakilnya mesti jago implementasi.
Ketiga, reformasi birokrasi. Akar rendahnya kapasitas negara adalah buruknya kualitas birokrasi. Ini bukan hanya orang, melainkan juga lembaganya. Dengan 4,28 juta aparatur sipil negara (ASN) yang bekerja di 34 kementerian, 160 lembaga nonkementerian, 38 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kota—namun 40 persennya bermutu rendah (Badan Kepegawaian Negara, 2023)—manajemen talenta ASN mesti jadi prioritas.
Ini tidak hanya soal gaji, tapi kelas dan kualitas penggawa negara. ASN bermutu rendah diberi opsi mundur secara manusiawi—misalnya dengan paket pensiun sukarela dini—sembari menarik talenta terbaik agar mau bekerja untuk negara dengan memastikan remunerasi setara nilai pasar, sistem penggajian tunggal dan peta karier jelas, serta penugasan dan penilaian kinerja terbuka dan adil. Institusi birokrasi mesti dirampingkan dan diremajakan.
Ditambah semua perkara di atas, ini kian menegaskan perlunya fungsi oposisi dalam bentuk kontrol dan penyeimbang di negeri ini—baik politik maupun kebijakan publik.
Di sini, satu soal mengganjal: revisi UU TNI membuat prajurit makin leluasa menjabat di instansi sipil (Kompas, 31/5/2024). Tanpa mengontradiksikan sipil-militer, hal ini harus dicegah. Demikian juga bagi polisi. Prinsipnya: biarkan institusi sipil tetap dipegang sipil tak bersenjata; militer dan APH tetap pada tugasnya menjaga pertahanan-keamanan dan menegakkan hukum.
Terakhir, inovasi sektor publik. Perkembangan teknologi, khususnya digital, mesti digunakan untuk menyediakan layanan publik berkualitas. Data tunggal terbagi-pakai (Satu Data Indonesia) baik statistik maupun geospasial—dalam arsitektur transformasi digital pemerintah—harus menjadi tulang punggung penyediaan serta inovasi layanan publik agar lebih cepat, mudah, dan murah.
Karena data adalah mata uang dalam ekonomi digital, UU Perlindungan Data Pribadi mesti segera diselesaikan aturan turunannya agar data warga terjaga. Perkembangan teknologi mendorong inovasi, tapi juga membawa konsekuensi yang mesti diantisipasi dan dimitigasi.
Dalam semua perkembangan teknologi—mulai dari kedokteran hingga kecerdasan buatan—pemerintah mesti memastikan ketersediaan (availability), akses (accessibility), pemahaman penggunaan (literacy), dan tata kelola (governance). Hanya dengan itu pemerintah bisa berinovasi menjalankan mandat menyejahterakan rakyat.
Melangkah ke depan
Belum lama, kita terperangah lagi: Mahkamah Agung mengubah aturan batas usia calon kepala daerah—memungkinkan anak Jokowi berlaga di pilkada. Pola-pola pemenangan yang bermasalah secara etik dan hukum di Pilpres 2024 bisa terulang di pilkada.
Ditambah semua perkara di atas, ini kian menegaskan perlunya fungsi oposisi dalam bentuk kontrol dan penyeimbang di negeri ini—baik politik maupun kebijakan publik. Perlu platform bagi mereka di luar kekuasaan—masyarakat sipil, akademisi, partai—untuk bekerja sama mengkritisi politik dan kebijakan.
Dalam jangka pendek hingga menengah, fokusnya adalah transisi kebijakan kunci pemerintah saat ini. Lalu, mengevaluasi kebijakan pemerintah baru dan implementasinya. Dalam jangka panjang, agenda pokoknya konsolidasi elemen kritis di luar pemerintahan lewat pendidikan politik sipil dan penguatan lembaga publik. Tujuannya, agar fungsi oposisi ini menciptakan transformasi sosial lebih mendasar dan melahirkan kepemimpinan sipil yang demokratis.
Fungsi oposisi dalam hidup bernegara ini adalah jalan merawat demokrasi, memperjuangkan keadilan, serta mewujudkan cita-cita proklamasi: masyarakat yang beradab, adil, dan sejahtera.