Ambruknya Keadaban Publik Kita

Ambruknya Keadaban Publik Kita

Ambruknya Keadaban Publik Kita

Penulis:

Artikel ini pertama kali terbit di Kompas pada tanggal 6 Maret 2024.

 

Semua partai di parlemen terlibat secara transaksional dalam berbagai kepentingan—kalau tak mau dibilang tunduk.

Merenungkan yang terjadi hari-hari ini, kita tahu satu perkara tengah berlangsung di depan mata: ambruknya keadaban publik kita. Padahal, ia fondasi bangsa.

Tanpa fondasi ini, takkan ada kemajuan, takkan bisa kita raih cita-cita kemerdekaan menjadi bangsa maju, beradab, bermartabat, dan terhormat.

Memang Pemilu 2024 menjadi episentrum soal keadaban ini. Tak salah jika banyak pihak menudingnya sebagai hal mendasar yang harus disasar. Tetapi, gejalanya sudah terjadi lama sebelum kita menorehkan pilihan di bilik suara. Rangkaian peristiwa yang terjadi sesudahnya membuat kita bertanya-tanya: mau dibawa ke mana hidup bersama kita sebagai satu bangsa?

 

Keadaban publik
Keadaban publik (civility), sederhananya, adalah kepatuhan terhadap akal sehat, moralitas, dan etika dasar yang berlaku dalam hidup bersama sebagai warga (Calhoun, 2000). Karena itu, keadaban adalah hasil kesepakatan sekaligus arena pertarungan: moralmu bukanlah moralku, etis menurutmu belum tentu etis menurutku, aturan yang baik bagimu bukan berarti baik bagiku.

Jadi, keadaban publik dibentuk dan dikembangkan lewat tegangan konstan antarmereka yang membentuk kesepakatan atau bertarung itu. Jika begitu, apakah kekuasaan (power) menjadi penentu keadaban? Bukankah lalu hanya mereka yang berkuasa yang jadi penentunya? Ya. Tetapi, bukan satu-satunya.

Dalam perkara-perkara publik, apalagi soal moral dan etika, persoalannya bukanlah sekadar kuasa, apalagi yang dinamikanya berbasis pada logika mayoritas vis-à-vis minoritas.

Semua partai di parlemen terlibat secara transaksional dalam berbagai kepentingan dengan—kalau tak mau dibilang tunduk pada kemauan—pemerintah.

Tanpa harus berfilsafat, secara intuitif kita tahu, ”dari apa yang ada (what is) tak bisa langsung kita jadikan apa yang seharusnya (what should be)”. Jika dari survei ditemukan 90 persen siswa ternyata mencontek saat ujian (what is), bukan berarti lantas dibuat kebijakan bahwa mencontek itu diperbolehkan (what should be).

Mau lebih jelas lagi? Kalau dari berita masyarakat tak bereaksi saat ada pelanggaran hukum, bukan berarti pelanggaran hukum diperbolehkan dan tak perlu dikenai sanksi. Kalau data menunjukkan mayoritas warga memilih pelanggar hukum dan etika jadi pemimpinnya, bukan berarti harus dibuat kesepakatan, kebijakan, atau dibenarkan bahwa hukum/etika boleh seenaknya dilanggar.

Memang perkara mayoritas-minoritas—atau yang dikesankan demikian—di bawah sadar sering melumpuhkan kita karena erat terkait soal kuasa. Dan, kita mudah gamang saat berhadapan dengannya.

Ketika kita percaya dan menerima bahwa otoritas berkuasa bisa memaksakan pendapat, sikap, atau kebenarannya, apalagi tanpa perlawanan mereka yang dipaksa, keadaban tampil dalam wujud sebatas relasi kuasa, bukan dialog tentang moral dan etika. Akibatnya, kita terkecoh melihat demokrasi: bukan sebagai keutamaan kedaulatan warga, melainkan hasil tarik ulur kepentingan yang berkuasa.

Keadaban, yang seharusnya jadi fondasi sekaligus pilar penopang bangsa, ambruk terpuruk menjadi sekadar pembenar tindak-tanduk pongah penguasa yang seolah tak bisa dicegah.

Jika keadaban publik tak segera ditegakkan lagi, cita-cita Indonesia menjadi salah satu pemimpin dunia di usia seabad nanti tinggal mimpi. Ekonomi akan mandek karena pelakunya, termasuk investor, ragu apakah hukum bisa ditegakkan dan tata kelola bisa dipercaya.

Apalagi dalam kondisi oligarkis penuh kepentingan: pengusaha (pemilik tambang, kebun, bisnis jasa, dan sebagainya) sekaligus adalah penguasa (anggota parlemen, pejabat publik, penegak hukum, menteri, bahkan pembuat kebijakan tertinggi) yang bisa menekuk aturan seenaknya asal menguntungkan diri dan kroninya.

 

Awal mulanya
Tak mudah melacak asal gejala ini. Barangkali awalnya karena gagasan makin tak punya ruang, digantikan kepentingan, di republik ini. Itu terjadi di semua aspek hidup: bernegara, berusaha, hingga berpolitik. Ideologi dan keutamaan berwarga negara tergusur, digantikan transaksi kepentingan.

Bukan lagi yang ideal yang diperjuangkan, melainkan yang praktikal asal kepentingan terakomodasi. Dalam kehidupan berpolitik dan bernegara, dampaknya luar biasa. Sepuluh, terutama lima, tahun terakhir, nyaris tak ada dinamika serius antara pemerintah dan DPR karena nyaris tak ada partai yang sungguh-sungguh menempatkan diri sebagai oposisi.

Semua partai di parlemen terlibat secara transaksional dalam berbagai kepentingan dengan—kalau tak mau dibilang tunduk pada kemauan—pemerintah. Situasi mirip juga terjadi pada masyarakat sipil yang melemah karena makin tak ideologis dan terpecah belah akibat perseteruan kepentingan. Akibatnya, tak ada checks and balances oleh parlemen dan masyarakat sipil atas kebijakan/tindakan pemerintah.

Akibatnya, kita terkecoh melihat demokrasi: bukan sebagai keutamaan kedaulatan warga, melainkan hasil tarik ulur kepentingan yang berkuasa.

Jadinya, pemerintah kian menyerupai tirani. Dari catatan, situasi mulai memburuk saat KPK dilemahkan melalui revisi UU KPK (Kompas, 17/9/2019). KPK tak lagi independen dan berdaya karena jadi bagian dari pemerintah. Lalu, saat korona melanda, kebijakan penanganannya mengabaikan ilmu dan data, pilkada dipaksakan di tengah pandemi, urusan pemulihan ekonomi lebih dipentingkan daripada perkara nyawa.

Pelemahan KPK dan penanganan korona jadi awal kewaspadaan bahwa perkara moral dan etika bukanlah yang utama: ini gejala kronis mulai ambruknya keadaban publik kita. Selanjutnya, sejarah mencatat rangkaian pengabaian etika dalam tata kelola bernegara.

Sebut saja pengesahan UU omnibus Cipta Kerja yang sarat kepentingan oligarki, UU Ibu Kota Nusantara yang dikebut dan diduga dirancang minim konsultasi warga, dan banyak perkara lain. Akhirnya, semua bermuara pada berbagai upaya perpanjangan kekuasaan Joko Widodo sehingga ia tak layak disebut negarawan lagi.

Mungkin semua itu masih tersembunyi dan coba ditutup-tutupi. Namun, ketika anak Presiden lolos jadi cawapres lewat keputusan MK yang diketuai pamannya sendiri, semua jadi kian terang benderang. Rangkaian pemilu pun dirancang untuk memastikan kemenangannya. Ketidaknetralan aparat, keberpihakan Presiden dan para menteri, hingga politik gentong babi (pork barrel) lewat bansos dan banyak lagi dilakukan sebelum pemungutan suara.

Dan, setelahnya, kita melihat pembungkaman atas upaya menyuarakan kecurangan, termasuk penggelembungan suara untuk pasangan calon dan partai tertentu, manuver politik untuk mencegah bergulirnya hak angket, hingga arahan Presiden untuk mengeliminasi berbagai tuntutan demokratisasi yang ternyata hanya dianggap residu—sampah—politik (Kompas, 28/2/2024).

Kemerosotan keadaban ini makin telanjang dipertontonkan hari-hari ini. Kritik masyarakat sipil dihadapi dengan intimidasi, seperti yang terjadi di ICW, YLBHI, dan Lokataru. Sidang kabinet yang membahas program prioritas pemerintahan selanjutnya seperti hendak mengatakan: pemenang Pemilu 2024 sudah jelas, jangan dipertanyakan lagi.

Tak berhenti di situ, Prabowo yang selama ini dianggap pelanggar HAM diberi bintang empat kehormatan.

 

Menyelamatkan keadaban
Kita mesti optimistis menjaga nyala api harapan, seberapa pun kecilnya. Sebab, seperti kata Angela Davis pada 1960-an, ”Optimistis itu tindakan politis.” Dalam semangat ini, beberapa hal bisa kita lakukan bersama dalam sebuah gerakan menyelamatkan keadaban publik.

Pertama, sebagai prinsip: karena di jantung keadaban adalah akal sehat, moralitas, dan etika sebagai dasar hidup bersama, maka ketiganya juga menjadi muara sekaligus daya hidup gerakan kita. Kita tidak sedang bertransaksi dengan pemegang kuasa, tetapi menyuarakan bahwa tanpa akal sehat, etika, dan moralitas; membangun kemajuan negeri ini hanya akan jadi ilusi.

Kedua, taktis di jangka pendek ada lima. Satu, mendukung upaya pasangan calon yang dirugikan menggunakan jalur hukum mengajukan gugatan hasil Pemilu 2024 ke MK. Dua, mendorong parpol menggunakan jalur politik mengajukan hak angket DPR mempertanyakan penyelenggaraan pemilu. Kedua hal ini bukan untuk mendelegitimasi, tetapi mengingatkan publik bahwa kesemena-menaan dengan dalih demokrasi tidak semestinya punya tempat.

Sidang kabinet yang membahas program prioritas pemerintahan selanjutnya seperti hendak mengatakan: pemenang Pemilu 2024 sudah jelas, jangan dipertanyakan lagi.

Tiga, mendesak dilakukan audit forensik digital mekanisme penghitungan suara KPU, khususnya Sirekap, Silon, Sipol, dan Sikadeka. Ini penting untuk menjaga integritas penyelenggaraan pemilu dan memastikan kesahihan hasilnya.

Empat, terlibat dalam usaha masyarakat sipil menyuarakan temuan pelanggaran dan kecurangan sebelum, selama, dan sesudah pemilu. Ini penting agar kecurangan tak dianggap normal, tak dimaklumi, dan tak diinstitusionalisasikan menjadi strategi pemenangan ke depan.

Lima, memperkuat gerakan-gerakan intelektual dan akademisi di kampus-kampus untuk terus menyampaikan seruan moral dan etika. Kerja dan kolaborasi dengan media menjadi kunci efektivitas lima gerakan taktis di atas.

Ketiga, strategis di jangka menengah: mengawal secara kritis exit strategy pemerintah saat ini dan entry plan pemerintah selanjutnya. Di tujuh bulan tersisa, Jokowi mesti didesak berfokus pada pemenuhan janji pembangunannya. Bukan sibuk membantu pemerintahan berikutnya, di mana anaknya akan ikut berkuasa.

Kalaupun yang dilakukannya dianggap transisi, ia mesti sabar menunggu hingga KPU mengumumkan hasil pemilu. Pemerintah baru—dilantik 20 Oktober 2024—mesti diawasi kinerjanya dan dijaga tata kelolanya.

Tantangan pemerintahan mendatang adalah membangun kepercayaan publik yang tak buta akan fakta masifnya konflik kepentingan di tubuh pemerintah sendiri. Menjaga integritas pemerintahan, selain membangun kapasitasnya, akan menjadi tema sentral setidaknya 5-10 tahun ke depan.

Keempat, dalam jangka panjang harus dilakukan konsolidasi masyarakat sipil, kampus, dan elemen-elemen gerakan demokrasi, termasuk parpol dan ormas, lewat pendidikan politik publik guna membangun kewargaan (civicness).

Fokusnya, menyelamatkan dan menata kembali keadaban publik lewat kesepakatan yang dihasilkan melalui proses deliberasi warga berdasarkan akal sehat, etika, dan moral dalam hidup bersama. Termasuk membangun budaya yang mengedepankan integritas, kepercayaan, inklusi, dialog, dan nonkekerasan.

Perlu dicatat, kewargaan adalah logika yang didasarkan pada kontrak sosial antarwarga yang hanya bisa dicapai lewat keadaban. Menjadi warga negara berarti melakukan hubungan sosial berdasarkan pada kontrak sosial sebagai hasil dan proses keadaban.

Karena itu, agar kewargaan menjadi logika otoritas publik, lembaga-lembaga publik mesti diperkuat untuk mencegah ambruknya keadaban publik yang makin meluas.

Memperjuangkan fondasi keadaban—akal sehat, moral, dan etika—tidak bisa diukur dengan kalah atau menang, apalagi dalam ajang elektoral pemilu. Ini perjuangan panjang. Kita mesti ingat bahwa tingkat keadaban tidak ditentukan oleh kuantitas suara pendukungnya. Karena itu, untuk menyelamatkannya dari keterpurukan ini, kita mesti setia berpihak pada akal sehat, moralitas, dan etika.

Apalagi, kalau kita mencermati kondisi sosial-ekonomi-politik serta dinamika tata kelola negara saat ini dan beberapa bulan dan tahun ke depan; perubahan signifikan tidak hanya mungkin, tetapi besar kemungkinan akan terjadi.

Mengambil langkah menyelamatkan keadaban publik kita jelas tak mudah. Namun, hanya dengan itu kita mengambil peran bermakna sebagai warga dalam mewujudkan dan menjaga hidupnya gagasan besar bernama Indonesia.

Ambruknya Keadaban Publik Kita

Bagikan postingan ini

PENULIS

Yanuar Nugroho

Dosen STF Driyarkara, Visiting Senior Fellow ISEAS Singapura, Penasihat Centre for Innovation Policy & Governance (CIPG)

Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) adalah wadah pemikir (think tank) berbasis penelitian yang bercita-cita unggul dalam bidang inovasi, kebijakan, dan tata kelola.

Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) adalah wadah pemikir (think tank) berbasis penelitian yang bercita-cita unggul dalam bidang inovasi, kebijakan, dan tata kelola.

office@cipg.or.id​

Mulai Maret 2024, CIPG menerapkan mode bekerja dari rumah (Work From Home)

Kembali ke Atas