Artikel opini ini pertama kali terbit di Harian Kompas, 20 Mei 2022
Satu kunci menjawab berbagai tantangan kebangsaan itu adalah adanya pemerintahan yang kuat, cakap, dan berdaya. Ia mesti kuat agar bisa melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia; serta menyejahterakan rakyat.
Masa depan rakyat Indonesia semata-mata terletak dalam bentuk suatu pemerintahan yang bertanggung jawab kepada rakyat dalam arti yang sebenar-benarnya. Karena hanya bentuk pemerintahan seperti itu saja yang bisa diterima oleh rakyat.
Dr Soetomo, Pendiri Boedi Oetomo
Hari ini kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Berdirinya Boedi Oetomo 114 tahun yang lalu menandai tumbuhnya kesadaran sebagai ”Orang Indonesia” yang saat itu menjadi koloni Belanda. Kesadaran ini menjadi penggerak utama yang membawa Indonesia keluar dari penjajahan.
Kini, setelah hampir 77 tahun merdeka, ke mana kesadaran sebagai ”Orang Indonesia” yang memerdekakan, membawa kita sebagai bangsa? Tak mudah menjawab pertanyaan ini karena gagasan tentang orang, apalagi bangsa, Indonesia kian jarang didalami.
Lebih sering kita bicara tentang kepentingan sekelompok atau segolongan orang yang menempelkan label ”Indonesia”, padahal isi kepentingannya tidak sepenuhnya tentang ke-Indonesia-an kita. Situasi ini mengkhawatirkan karena, sembari harus membangun diri meraih mimpi menjadi salah satu pemimpin dunia pada 2045, kita mesti menghadapi dan menanggapi berbagai tantangan kebangsaan yang perlu dengan gamblang dirumuskan.
Karena itu, ini saatnya memikirkan arah perjalanan bangsa dengan membaca dan memahami tanda-tanda zaman dan tantangan yang dibawanya.
Berdirinya Boedi Oetomo 114 tahun yang lalu menandai tumbuhnya kesadaran sebagai ”Orang Indonesia” yang saat itu menjadi koloni Belanda.
Membaca tanda-tanda zaman
Di antara berbagai tanda-tanda zaman, beberapa perlu dibaca secara saksama: diidentifikasi kejadiannya, diamati kecenderungannya, dan ditemukan penggerak serta penyebabnya. Mesti cermat pula mengamati hakikat (ontologi), penjelas (epistemologi), dan implikasi (aksiologi)-nya.
Pertama, kondisi sosial yang menyangkut interaksi antarbudaya, kelompok, generasi, latar ekonomi, dan wilayah. Dinamika demokratisasi dan desentralisasi dua dekade terakhir memengaruhi tak hanya relasi masyarakat dan pemerintah, tetapi juga relasi antarmasyarakat sendiri.
Di satu sisi, pemerintah lebih bertanggung-gugat (akuntabel) pada pemilihnya. Di sisi lain, muncul dampak tak-termaksud: perselisihan antarpemilih, yang kerap berujung pada perpecahan, mulai dari kelompok hobi hingga relasi suami-istri. Penggunaan teknologi informasi dan media yang meningkat tanpa diiringi literasi—dan malah dibanjiri oleh kabar bohong—membuat masyarakat tak kunjung dewasa dan makin rentan pembelahan.
Kedua, dalam politik dan hidup-publik, urusan pemerintahan dan kenegaraan makin tercampuri soal kekuasaan yang berkelindan dengan kepentingan bisnis. Oligarki, nama situasi ini.
Banyak politikus atau pengusaha yang menjadi pejabat publik tidak, atau tidak mau, mengerti hakikat public policy. Politisasi dan transaksi mewarnai pengambilan keputusan yang menentukan hidup-mati warga negeri. Akibatnya, wacana tentang kebijakan makin miskin substansi dan tidak ada insentif bagi institusi publik dan pemerintahan, apalagi aparatur sipil negara, untuk sungguh-sungguh mereformasi diri.
Ketiga, ekonomi tumbuh cukup stabil meski sempat terpuruk diterjang pandemi sebelum merangkak naik lagi. Namun, untuk mengejar target menjadi negara maju, banyak kerja mesti dipacu. Jebakan negara berpenghasilan menengah sulit dihindari jika soal mendasar seperti kemiskinan, ketimpangan, perbaikan layanan kesehatan, dan pendidikan tidak digarap serius.
Juga strategi kependudukan dan ketenagakerjaan. Ekonomi, termasuk investasi, mesti dibangun dengan landasan pengetahuan dan inovasi (knowledge- and innovation-based economy) untuk mengejar nilai tambah, bukan lagi mengandalkan jual-beli komoditas dan industri alas kaki.
Keempat, meski riset, teknologi, dan inovasi menjadi kunci kemajuan bangsa, saat ini ekosistemnya belum optimal tertata. Perangai-ilmiah (scientific temper) belum menjadi watak warga. Ilmu pengetahuan belum terintegrasi dalam pengambilan keputusan. Bahkan, sejumlah kebijakan dianggap antisains.
Birokrasi dan kelembagaan publik perlu dilatih memanfaatkan teknologi dan inovasi agar proses bisnis pemerintah tak tertatih-tatih. Manajemen talenta peneliti dan inovator belum optimal sehingga kinerja mereka tertinggal dari kolega-sejawat di negara lain. Banyak temuan dan inovasi belum mendongkrak daya saing karena hilirisasi masih setengah hati. Padahal, teknologi baru mesti segera dikembangkan dan dikuasai.
Kelima, saat kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan mulai tumbuh di masyarakat, eksploitasi alam serampangan atas nama pembangunan terus berjalan. Kelindan penguasa dan pengusaha memang miskin imajinasi akan kelestarian lingkungan. Apalagi krisis akibat perubahan iklim.
Kelindan penguasa dan pengusaha memang miskin imajinasi akan kelestarian lingkungan.
Ia hanya berpikir bagaimana menangguk untung sebanyak-banyaknya, secepat-cepatnya, dan membiarkan alam menanggung bebannya. Padahal, daya dukung bumi terbatas. Akibatnya, negeri kaya sumber daya alam ini kian merana didera keserakahan mereka, lupa korban hancurnya alam adalah semuanya.
Terakhir, soal nilai. Imperatif sebagai bangsa berbineka adalah inklusi, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Namun, ia menghadapi tantangan besar: perbedaan pandangan, pemikiran, apalagi keyakinan dan pilihan politik menjadi legitimasi menihilkan inklusi.
Apalagi hukum dan tata kelola juga belum mampu memastikan keadilan bagi semua. Erosi inklusi ini menggerus fondasi negeri. Kesetaraan dan kesetia- kawanan sebagai satu bangsa akan tinggal angan ditelan masa jika tak ada afirmasi mendorong inklusi. Keberpihakan pada minoritas, penyandang disabilitas, perempuan dan anak, kaum miskin dan tersisihkan harus menjadi jiwa kebijakan dan rencana pembangunan.
Bacaan tanda-tanda zaman di atas mungkin miskin sopan santun diksi karena bicara apa adanya. Namun, semoga ia menunjukkan substansi tantangan kebangsaan yang mesti berani kita tanggapi demi menghidupi cita-cita para pendiri bangsa.
Menghidupi cita-cita
Cita-cita para pendiri bangsa yang pertama-tama bukanlah agar negara ini menjadi pemimpin dunia, melainkan menjadi negara yang ”merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur” (Pembukaan UUD 1945).
Jika negeri ini sungguh merdeka (bisa menentukan sendiri arah pembangunan dan kemajuan), bersatu (sebagai anak bangsa yang berbineka), berdaulat (mampu mengelola sendiri sumber daya pembangunan), adil (memastikan semua warga berkedudukan sama di depan hukum), dan makmur (hasil pembangunan dinikmati semua secara berlimpah), dengan sendirinya ia akan dihormati dan menjadi pemimpin dunia.
Jadi, menjadi pemimpin dunia adalah akibat, bukan sebab. Bagaimana mewujudkannya? Jawabnya pun lugas: dengan ”membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia” (ibid).
Maka, satu kunci menjawab berbagai tantangan kebangsaan itu adalah adanya pemerintahan yang kuat, cakap, dan berdaya. Ia mesti kuat agar bisa melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia; cakap agar bisa membangun untuk menyejahterakan dan mencerdaskan warga; dan berdaya agar bisa aktif melaksanakan ketertiban dunia.
Namun, pemerintah yang kuat, cakap, dan berdaya tidak jatuh dari langit. Ia mesti diupayakan. Dan merefleksikan berbagai tantangan di atas, langkah mendasar untuk melakukannya adalah membersihkan pemerintahan dari oligarki, bukan sekadar reformasi birokrasi. Korupsi dan inefisiensi hanyalah gejala, tetapi watak oligarkilah penyebabnya.
Dan ini bukan hanya perkara uang, melainkan remuknya seluruh sumber daya publik, termasuk hukum dan tata kelola dalam hidup bersama kita.
Soal oligarki tidak boleh hanya jadi gerundelan birokrasi, tetapi mesti blakblakan diakui. Seperti dulu keberadaan pemerintah kolonial Hindia-Belanda diakui sebagai penjajahan, bukan sekadar perdagangan. Itu pijakan untuk bangkit mencari solusi.
Namun, memang memberantas watak oligarki tidak mudah, apalagi di tengah berbagai agenda pembangunan: mulai dari pemulihan pascapandemi, persiapan Pemilu 2024, hingga pemindahan ibu kota negara. Yang bisa dilakukan adalah memperketat pengawasan publik agar kinerja pemerintah lebih baik.
Memberikan kritik, masukan, bahkan keberatan atas kebijakan pemerintah adalah hak warga yang dilindungi konstitusi dan tidak boleh dilihat sebagai sebuah sikap anti. Dan di sinilah sebenarnya, baik warga maupun pemerintah, berperan dalam proses berbangsa: membangun kesadaran sebagai ”Orang Indonesia”—bukan sekadar penduduk, apalagi hanya penghuni pulau-pulau di Nusantara ini.
Memberikan kritik, masukan, bahkan keberatan atas kebijakan pemerintah adalah hak warga yang dilindungi konstitusi dan tidak boleh dilihat sebagai sebuah sikap anti.
Membentuk Indonesia
Indonesia bukanlah sebuah konstruksi konstan. Masa depan negeri ini tidak bisa hanya diramalkan lewat proyeksi dan model statistika seberapa pun canggihnya. Indonesia dibentuk dan terbentuk lewat waktu dan tindakan mereka yang tinggal dan berinteraksi di dalamnya. Karena itu, pembentukan Indonesia masa depan mesti menjadi upaya sadar kita sebagai warga.
Masa depan Indonesia tak terletak di tangan orang Jawa, Minang, Batak, Dayak, Bugis, atau suku lainnya. Masa depan Indonesia juga tak terletak di tangan orang Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, atau pemeluk agama dan kepercayaan lain. Apalagi di tangan partai atau kelompok A, B, atau C. Masa depan Indonesia—sebagaimana divisikan Dr Soetomo—terletak di tangan orang-orang Indonesia yang terdidik baik. Dan dalam kerangka negara-bangsa modern, juga di tangan pemerintah yang bertanggung jawab kepada rakyatnya. Hanya dengan kesadaran ini, kita akan sungguh bangkit sebagai satu bangsa.