Ilustrasi: HERYUNANTO
Berbagai isu hangat terkait aparatur sipil negara akhir-akhir ini berakar pada mandeknya reformasi birokrasi. Momentum penting ini perlu segera ditindaklanjuti dengan mempercepat pembenahan ASN dan pembenahan institusi.
Merefleksikan yang terjadi hari-hari ini, agenda paling mendesak Presiden Joko Widodo saat ini adalah mereformasi birokrasi.
Bak penyakit menahun, problem birokrasi di negeri ini makin akut dan memakan makin banyak korban. Masalahnya, korbannya bukan hanya pejabat dan birokrat, atau kepercayaan rakyat kepada pemerintah, melainkan cita-cita konstitusi. Terkuaknya harta sejumlah pejabat negara yang tidak wajar besarnya, atau terpaparnya gaya hidup mewah dirinya dan keluarganya, sebenarnya hanyalah gejala.
Keresahan banyak aparatur sipil negara (ASN) tentang kesenjangan remunerasi dan insentif antara kementerian/lembaga (K/L) ”sultan” dan ”jelata”— yang kini mengemuka lagi, padahal sudah lama terjadi—juga bukan substansi. Demikian pula kinerja kelembagaan negara, pusat ataupun daerah, yang dirasa lamban, kurang sigap melayani publik, bukanlah inti masalahnya. Jadi, apa pokok soalnya? Mandeknya reformasi birokrasi (RB).
Urusan birokrasi hampir seumur Republik. Presiden Soekarno memulai dengan membentuk Kantor Urusan Pegawai (KUP) tahun 1948, Panitia Organisasi Kementerian (Panok) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) tahun 1957, hingga Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) tahun 1959.
Presiden Soeharto membentuk Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (Kementerian PAN) untuk menangani pegawai pemerintah. Setelah ingar-bingar reformasi mereda, pertama kalinya aspek RB tecermin dalam nomenklatur kabinet saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengubah Kementerian PAN menjadi Kementerian PAN dan RB dengan tujuan menjadikannya agenda strategis. Birokrasi bukan saja urusan kepegawaian, melainkan juga institusi dan kelembagaan publik.
Presiden Jokowi meneruskan, dengan menjadikan RB prioritas pembangunan lewat upaya memastikan ”negara hadir” dalam Nawacita pada periode pertama hingga Lima Visi pada periode kedua.
Sejarah panjang ini menegaskan mandat negara adalah menciptakan birokrasi yang berdaya dan berintegritas. Artinya, SDM dan kelembagaan publik yang akuntabel, produktif, profesional, bebas korupsi. Namun, barangkali mandat itu terlalu besar, atau kita yang terlalu kerdil untuk mewujudkannya. RB berjalan relatif lambat, kalau bukan jalan di tempat. Maka, ini saatnya berbenah. RB mesti dipercepat dan diperkuat. Fokusnya dua: orang dan lembaga.
Pertama, pembenahan ASN sebagai SDM birokrasi. Jokowi sudah meletakkan dasar: manajemen talenta nasional yang juga mencakup transformasi ASN. Isinya: akuisisi, pengembangan karier dan kompetensi, dan penempatan pegawai (Permen PAN dan RB No 3/2020). Kebijakan ini mesti cepat dijalankan. Mungkin pemerintah sudah punya rencana. Namun, apa strategi nasionalnya, seperti apa peta jalannya, apalagi bagaimana tata kelola pelaksanaannya, tak terkomunikasikan dengan baik kepada 4,3 juta ASN kita, yakni 3,95 juta pegawai negeri sipil (PNS) dan 359.000 pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Akibatnya, kebanyakan ASN tak tahu bagaimana mesti mentransformasi diri. Benar, perekrutan ASN sudah lebih fair dan transparan dengan teknologi digital, tetapi soal pemenuhan kebutuhan (formasi) dan standar kualitas masih jadi persoalan besar.
Skema pengembangan karier dan diklat bagi ASN juga tersedia. Namun, kurikulum dan proses diklat dikeluhkan tak sesuai tuntutan zaman. Penempatan sesuai kebutuhan sudah diupayakan, tetapi belum semua terpenuhi, apalagi cocok dengan keahlian. Mobilitas untuk pengayaan dan peningkatan karier rendah karena tak kompatibelnya gaji, insentif, dan kepangkatan antar-K/L.
Bukan rahasia bahwa talenta-talenta terbaik bangsa tak bekerja untuk negara. Kebanyakan dari mereka memilih dunia usaha atau jadi wiraswasta. Yang mau bekerja untuk negara pun pertama-tama akan memilih K/L ”papan atas”, ”sultan”, atau Tier 1, seperti Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, atau BPK. Bukan Tier 3, apalagi Tier 4, seperti Kementerian Sosial, Ketenagakerjaan, KPU, atau mayoritas K/L lainnya. Alasannya sederhana tapi mendasar: pendapatan dan penghargaan.
Ada salah kaprah bahwa bekerja di lingkungan swasta bertujuan mencari uang, dan bekerja untuk negara adalah pengabdian. Ini mesti diluruskan: bekerja memang untuk mencari penghasilan— baik di dunia usaha maupun untuk negara. Itu hakikat kerja. Ketidakmampuan—atau ketidakmauan—menghargai kerja lewat penghasilan yang layak akan berakibat pada ketidakmampuan menarik talenta berkualitas. Ungkapan ini terdengar menyakitkan, tapi benar: ”you pay peanuts, you get monkeys”.
Maka, jangan heran, makin banyak cerita, atau berita, aparat negara menumpuk harta. Sebagian sembunyi-sembunyi sampai akhirnya ketahuan, sebagian lagi resmi lewat rangkap jabatan komisaris atau dewan pengawas di BUMN.
Bukan rahasia bahwa talenta-talenta terbaik bangsa tak bekerja untuk negara. Kebanyakan dari mereka memilih dunia usaha atau jadi wiraswasta.
Ini praktik umum bertahun-tahun. Jadi ketika terbuka betapa kaya Irjen Ferdy Sambo, pegawai eselon III Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo, Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono, atau Kepala Kantor BPN Jakarta Timur Sudarman Harjasaputra, dengan harta belasan, puluhan, bahkan ratusan miliar, penyebutan mereka sebagai ”oknum” kian tak relevan. Pernyataan Sri Mulyani bahwa 69 PNS Kemenkeu terlibat transaksi janggal dan punya harta di atas kewajaran menegaskan luasnya gejala ini.
Bahwa baru mereka yang ketahuan, bukan berarti yang lain tak melakukan. Wakil Ketua KPK menegaskan, banyak pejabat punya kekayaan tak wajar, tetapi belum terungkap kepada publik. Karena itu, kunci pertama manajemen talenta ASN adalah kemauan menghargai SDM birokrasi dengan fair dan memadai. Gaji ASN tak boleh lebih rendah daripada gaji pegawai swasta untuk kualifikasi setara.
Jadi, bukan hanya sistem gaji tunggal, melainkan juga sistem gaji layak (single and decent salary system) di lingkungan pemerintahan yang mesti jadi sasaran pembenahan. Gaji layak memungkinkan negara menjaring talenta-talenta unggul, sedangkan gaji tunggal mendorong optimalisasi pengembangan karier, kinerja, dan penempatan ASN. Keduanya memungkinkan manajemen talenta ASN yang lebih terbuka, adil, transparan, dan berdasar kemampuan (merit).
Kunci kedua, tata kelola (governance) yang hakikatnya pemisahan kuasa: antara yang membuat kebijakan, menjalankan (termasuk memobilisasi sumber daya), dan mengevaluasi (Opini Kompas, 15/2/2023). Ini saatnya Presiden turun tangan sendiri. Triumvirat yang menangani ASN—Kementerian PAN dan RB, LAN, dan Badan Kepegawaian Negara (BKN)—mesti dirombak tata kelolanya sebagai pelaksana manajemen talenta ASN.
Caranya? Satu, formasi mesti dikoordinasikan: kebutuhan K/L dikonsolidasikan sebagai strategi perekrutan nasional. Dua, seleksi harus dilakukan dengan kriteria dan alat pengujian yang kompatibel lintas K/L dan seiring zaman. Masih ada K/L menggunakan instrumen tes sendiri yang diklaim unggul, tetapi sebenarnya ketinggalan zaman dan gagal menjaring kandidat potensial.
Tiga, diberlakukan sistem penggajian tunggal dan layak agar bukan hanya tak ada lagi ”kasta” antar-K/L, melainkan juga membangun motivasi sehat para aparat. Empat, pelatihan dan pengembangan karier dengan silabus dan kurikulum yang sesuai tantangan dan kemajuan zaman. ASN juga mesti difasilitasi mengambil pendidikan lanjut agar terpapar tradisi intelektual untuk memahami evidence-based policy.
Lima, penugasan dan penempatan sesuai kebutuhan negara. Harus dikembangkan basis data ASN terpadu untuk memetakan aparat dengan keterampilan dan pengalaman tertentu yang dibutuhkan negara.
Terakhir, kode etik untuk membangun integritas ASN. Rangkap jabatan/pendapatan harus dilarang, konflik kepentingan diharamkan, harta kekayaan dilaporkan, dan korupsi tak diampuni. Sikap dan cara pikir melayani—bukan mempersulit—publik mesti dibangun sebagai esensi revolusi mental ASN.
Pembenahan ASN ini mutlak agar SDM birokrasi layak memikul tanggung jawab mewujudkan masa depan negeri.
Di antara berbagai keruwetan persoalan tata kelembagaan, penulis mengusulkan tiga hal prioritas pembenahan.
Kedua, pembenahan tata kelembagaan publik. Di antara berbagai keruwetan persoalan tata kelembagaan, penulis mengusulkan tiga hal prioritas pembenahan. Pertama, integrasi perencanaan dan penganggaran. Sejak Orde Baru tumbang, runtuh pula kesatuan perencanaan dan penganggaran. Keduanya jadi rezim terpisah yang berjalan sendiri-sendiri. Perencanaan ditangani Bappenas dan penganggaran oleh Ditjen Anggaran Kemenkeu. Akibatnya, perencanaan sering tak sejalan dengan penganggaran.
Yang jadi korban adalah program kerja pemerintah sendiri. Karena itu, integrasi aplikasi Krisna dan Sakti sebagai amanat PP No 17/2017 tentang sinkronisasi perencanaan dan penganggaran perlu diapresiasi. Namun, tak cukup. Harus berani bervisi bahwa perencanaan dan penganggaran juga terintegrasi secara kelembagaan: Ditjen Anggaran disatukan dengan Bappenas. Seperti Office of Management and Budget di AS atau Treasury di Inggris, langsung di bawah presiden atau perdana menteri. Kita bisa belajar dari negara maju, bukan lembaganya, melainkan integrasi perencanaan dan penganggarannya.
Kedua, pembenahan tata kelola kelembagaan yang memobilisasi sumber daya keuangan negara yang akhir-akhir ini disorot publik. Berpijak pada prinsip pemisahan kuasa-wewenang-tanggung jawab, diusulkan penataan berikut.
Pertama, Ditjen Bea Cukai dan Pajak dipisahkan dari Kemenkeu dan disatukan dalam institusi baru yang menangani penerimaan negara, langsung di bawah Presiden. Ini seperti Revenue and Customs di Inggris atau Australian Taxation Office di Australia. Kedua, Ditjen Anggaran disatukan dengan Bappenas. Ketiga, unit eselon I lainnya tetap di Kemenkeu sebagai pengendali kebijakan fiskal dan keuangan negara. Empat, BPK dan BPKP juga disatukan dalam institusi baru semacam inspektorat negara, langsung di bawah Presiden. Ini seperti National Audit Office di Inggris dan Australia atau Government Accountability Office di AS.
Pembenahan tata kelola ini memastikan yang mendatangkan, membelanjakan, dan mengawasi penggunaan uang tak menyatu dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Pembenahan ini juga mesti dibarengi dengan penguatan kembali KPK dan pengarusutamaan pencegahan dan penindakan korupsi.
Negeri ini tak akan pernah besar, disegani, dan dihormati jika kualitas dan kinerja birokrasinya tetap seperti saat ini.
Ketiga, integrasi kebijakan pembangunan dan keuangan pusat dan daerah. Bukan rahasia bahwa pemda, provinsi maupun kabupaten/kota, merancang kebijakan pembangunan dan keuangannya sendiri yang sering kali tak selaras dengan kebijakan pembangunan dan keuangan pusat. Meski ini bagian dari konsekuensi desentralisasi pasca-reformasi 1998, penyelarasan tetap perlu untuk memastikan prioritas nasional dijalankan di tingkat daerah dan kebutuhan daerah mendapatkan alokasi sumber daya memadai.
Konkretnya, perencanaan, penganggaran, eksekusi, dan pengawasan pembangunan daerah dilakukan bersama-sama antara pusat dan daerah. Khususnya untuk sektor prioritas nasional. Ini akan mencegah kepala daerah jadi ”raja kecil”, dan justru sebaliknya mendorong peningkatan kualitas layanan publik di daerah.
Negeri ini tak akan pernah besar, disegani, dan dihormati jika kualitas dan kinerja birokrasinya tetap seperti saat ini. Sorotan dan kecaman publik pada birokrasi harus menjadi momentum untuk serius berbenah. Birokrasi, dengan segala tingkah polahnya, adalah wajah negara. RB adalah niscaya karena kualitas birokrasi menentukan tingkat kepercayaan (trust) warga kepada pemerintahnya.