Artikel ini pertama kali terbit di Kompas pada tanggal 7 Februari 2025.
Kita butuh pemerintahan yang mumpuni dan paham substansi, yang dijalankan oleh mereka-mereka yang profesional, bukan transaksional.
Ilustrasi: HERYUNANTO
Seratus hari telah lewat sejak Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dilantik sebagai presiden dan wakil presiden di negeri ini.
Sejak itu, mereka menjalankan pemerintahan, berupaya mewujudkan janji politiknya: Astacita. Meski masih dini untuk menilai hasil, penting memikirkan ke mana mereka akan membawa res publica bernama Indonesia ini.
Masa 100 hari amat singkat untuk mengukur keberhasilan kebijakan. Selain itu, fokus pada hasil cepat (quick wins) bisa menjebak pemerintah untuk terburu-buru dan jadi ”asal populis”. Padahal, tidak semua kebijakan yang dicanangkan 100 hari pertama akan segera menunjukkan dampak nyata.
Pemerintahan Prabowo dimulai dengan janji melanjutkan kebijakan Joko Widodo (Jokowi). Khususnya infrastruktur seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), hilirisasi, dan perlindungan sosial. Ditambahkan juga: makan siang gratis (kini Makan Bergizi Gratis/MBG), mencetak lahan pertanian, pemeriksaan kesehatan gratis, mendirikan sekolah unggul, dan menaikkan gaji ASN dan TNI/Polri–seperti dalam daftar program hasil cepat terbaik (PHCT).
Mungkin karena itu, saat publik ditanya kinerjanya, mayoritas merasa puas (Kompas, 20/1/25). Meski tak sedikit yang beranggapan sebaliknya—khususnya mereka dengan akses pada informasi (Celios, 21/1/25). Inti perkaranya bukan soal angka kepuasan, melainkan tata kelola pemerintahan.
Tata kelola tanpa tata
Persoalan tata kelola pemerintahan adalah masalah terbesar 100 hari ini. Janji Prabowo ”melanjutkan” kebijakan Jokowi menimbulkan tanya: apakah dia juga mewarisi masalah yang ditinggalkannya?
Jokowi memang memprioritaskan ekonomi, tetapi ia melemahkan institusi demokrasi, mengabaikan lingkungan, dan memusatkan kekuasaan. Karena itu, janji ”keberlanjutan” membawa kekhawatiran: sikap militeristik Prabowo yang bersanding dengan populisme teknokratik Jokowi akan menghasilkan stabilitas tanpa akuntabilitas, tata kelola tanpa tata.
Pertama, soal prioritas pembangunan. Prabowo menegaskan: target pertumbuhan 8 persen adalah target kabinet. Semua program pembangunan mesti diarahkan ke sana. Stabilisasi ekonomi menjadi fondasi. Harga pangan dan BBM dijaga, bansos diperluas, MBG mulai dijalankan meski masih uji coba.
Ini terutama untuk menjawab persoalan kunci: melebarnya kesenjangan, walau kemiskinan menurun (BPS, 2024). Meski program kesejahteraan makin terarah, disparitas regional tetap menjadi tantangan, di samping kelas menengah yang makin rentan jatuh miskin.
Maka, kebijakan pembangunan Prabowo harus lebih inklusif. Misal, pelaksanaan MBG secara top down selama ini menuai kritik karena miskin pelibatan publik dan nyaris tanpa keterbukaan. Tak hanya kandungan gizi dipertanyakan, tapi juga tata kelolanya: anggaran, penentuan menu, pengadaan alat dan bahan, proses penyiapan, hingga distribusi dan penentuan lokasi sekolah penerima.
Tak pernah ada komunikasi kebijakan MBG yang gamblang apakah komite sekolah dilibatkan, orangtua murid diajak berdiskusi, siswa-siswi diminta beri masukan, atau UMKM dan warung-warung sekitar sekolah didengarkan pendapatnya.
Kedua, soal keberlanjutan program prioritas, terutama dari perspektif fiskal. Misal, perkiraan anggaran MBG Rp 100 triliun-Rp 150 triliun per tahun (Rp 71 triliun untuk 2025), sementara seluruh anggaran untuk enam program bansos meningkat dari Rp 496,8 triliun (2024) menjadi Rp 504,7 triliun (2025). Maka muncul kekhawatiran program lain akan terganggu dan nampaknya begitu.
Inpres No 1/2025 menetapkan efisiensi (pemotongan) anggaran Rp 306,69 triliun: Rp 256,1 triliun dari kementerian/lembaga (K/L) dan Rp 50,59 triliun dari transfer daerah.
Maksud pemotongan ini efisiensi, tapi tak demikian dibaca publik. Lampiran Surat Menteri Keuangan No. S-37/MK.02/ 2025 tentang pemotongan ini–meski disangkal keabsahannya (Antaranews, 31/1/25)—menimbulkan banyak pertanyaan.
Saat anggaran mayoritas (83) K/L dipotong 20-75 persen, sejumlah kecil (17) K/L lainnya dikecualikan. Antara lain: Badan Gizi Nasional, kepolisian, kejaksaan, Kementerian Pertahanan, Badan Intelijen Negara, BPKP, MPR, dan DPR.
Syak wasangka merebak: pelaksana dan pengaman prioritas dianakemaskan, yang lainnya diacak-acak. Soalnya bukan hanya kecemburuan, melainkan dampak teknokratis yang tak dipikirkan masak-masak. Kualitas layanan publik diantisipasi akan terganggu karena di sejumlah K/L pemotongan tak memungkinkan mereka bekerja.
Misal, Kementerian Pekerjaan Umum yang anggarannya dipotong Rp 81,38 triliun mungkin tak bisa lagi merawat jalan dan jembatan yang krusial bagi daerah tertinggal. Atau Badan Kepegawaian Negara dengan anggaran tinggal Rp 513 miliar akan sulit menangani urusan kepegawaian ASN se-Indonesia.
Seratus hari pertama memang tak cukup untuk menilai hasil kerja Prabowo, tapi bisa memberi gambaran soal prioritas, gaya pemerintahan, dan arah kebijakannya.
Apa pun alasannya, pemotongan ini menunjukkan tiadanya konsolidasi fiskal yang jelas. Tujuh dari delapan PHCT Astacita (MBG, lahan pertanian, bansos, infrastruktur desa, pemeriksaan kesehatan gratis, sekolah unggul, dan kenaikan gaji ASN/TNI/Polri) adalah pengeluaran (spending).
Tanpa reformasi pajak struktural atau pemotongan subsidi yang tak efisien (misal energi), semua program prioritas membebani fiskal dan menimbulkan risiko anggaran signifikan ke depan. Kebijakan populis, meski secara politik menguntungkan, tak boleh korbankan kesehatan fiskal jangka panjang.
Ketiga, diduga, kinerja kabinet buruk karena lebih banyak menteri hasil transaksi ketimbang yang sungguh ahli. Mereka tak berani berinisiatif, lemah menjalankan program kerja, bahkan tanpa etika menyalahgunakan posisi mereka.
Celios (2025) mendaftarnya: Menteri HAM kebijakannya stagnan, tak tegas bertindak tapi kontroversial; Menteri Koperasi tak punya arah mengembangkan koperasi dan mereformasi dukungan UMKM.
Menteri Kehutanan gagal mengelola konservasi tapi malah mau membabat 20 juta hektar hutan demi ekonomi dan mengabaikan lingkungan; Menteri Desa dan Daerah Tertinggal yang tak punya strategi membangun perdesaan dan menyalahgunakan posisi untuk keperluan pribadi –dan banyak lagi.
Akhirnya, kinerja buruk para menteri membuat kabinet terpuruk seperti dikritik Prabowo sendiri: regulasi tumpang tindih, pengambilan keputusan lambat, ketidaksesuaian anggaran dan prioritas, serta pengawasan lemah (Kompas, 23/10/2024).
Ini menghambat pelaksanaan kebijakan, mengurangi efektivitas pembangunan, bahkan pemerintah kelihatan amatiran: MBG asal jalan, hilirisasi tak diawasi, pembukaan lahan untuk pangan dan energi direncanakan serampangan, penerapan Pajak Pertambahan Nilai terkesan plin-plan, pemotongan anggaran serampangan, kebijakan lingkungan dan reformasi sektor energi malah balik kanan.
Masih banyak yang lainnya. Semua ini perlu pembenahan mendesak. Yang terlihat mungkin inersia (tak bergeraknya) birokrasi, tapi jangan tergesa mendemonisasi (menempelkan citra buruk). Kinerja birokrasi amat tergantung, atau terpengaruh, kualitas pemimpinnya.
Selain itu, juga faktor pemungkin seperti regulasi, tata kelembagaan dan mekanisme akuntabilitas. Seperti apa birokrasi berjalan di bawah pemimpin yang politis dalam struktur kabinet yang tambun, lambat bergerak karena baru dirombak dan tak punya dukungan anggaran serta tak jelas akuntabilitas kinerjanya?
Maka barangkali penyebabnya hanya dua: lemahnya koordinasi–jika bukan tidak kompetennya—para menteri yang mengabaikan akuntabilitas, yang menyebabkan remuknya tatakelola pemerintahan.
Lantas bagaimana?
Mengatasi tantangan akuntabilitas dan tata kelola ini krusial bagi Prabowo untuk mempertahankan kepercayaan publik, memastikan agendanya berjalan, dan menjaga dukungan politik dari koalisi maupun menghadapi kritik oposisi. Untuk itu keempat soal di atas mesti serius ditangani.
Pertama, evaluasi prioritas pembangunan. Keinginan Prabowo agar ekonomi tumbuh 8 persen jelas tak didukung kebijakan-kebijakannya yang lain. Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi tingkat konsumsi masyarakat, belanja pemerintah, investasi, ekspor, dan impor.
Ketidakjelasan kebijakan perpajakan membuat masyarakat menahan diri mengonsumsi; buruknya tata kelola dan rendahnya akuntabilitas membuat belanja pemerintah tak efisien; reformasi hukum dan birokrasi yang mandek membuat investor enggan datang, ekspor masih mengandalkan komoditas karena hilirisasi terbatas, sementara impor malah diproyeksikan naik meski dalihnya untuk program prioritas.
Evaluasi prioritas perlu agar ekonomi tumbuh, mungkin tak perlu segera tinggi, namun lebih inklusif, stabil, berkelanjutan.
Kedua, peningkatan kapasitas fiskal dan kapasitas pemerintahan keseluruhan. Pengelolaan anggaran penting, tetapi pemotongan secara pilih kasih–jika bukan serampangan— membawa pesan ketidakpedulian pada aparat pemerintahan.
Efisiensi anggaran ini bukannya tak perlu, namun mesti rasional agar kinerja pemerintahan tak dikorbankan. Perlu dipikirkan meningkatkan kemampuan pemerintah mengantisipasi dan membentuk masa depan (foresight) yang penuh ketidakpastian. Lihat saja kemenangan Trump di AS dan dampaknya bagi dunia termasuk kita. Sudahkah diantisipasi?
Ketiga, apa boleh buat, menteri dan kepala lembaga tak berkinerja sebaiknya diganti saja. Mereka ujung tombak pemerin- tahan dan tangan kanan Presiden. Mungkin awalnya ditunjuk karena politik balas jasa saat menangguk suara. Tapi kalau yang ditunjuk memang tak mampu, mereka justru mengganggu. Maka, seperti janjinya, Prabowo mesti mengevaluasi kinerja mereka dan segera bertindak agar kabinetnya lebih cakap, profesional, dan kompak.
Terakhir, koordinasi pengendalian pembangunan. Salah satu akar persoalan keruwetan pembangunan saat ini adalah pengendalian. Ada tujuh K/L dengan tugas pengendalian: Kantor Staf Presiden, Badan Pengendalian Pembangunan dan Investigasi Khusus, Bappenas, Sekretariat Kabinet, Kementerian Koordinator, BPKP, dan KPK. Tapi tidak jelas pembagian kewenangannya: K/L mana mengendalikan program apa, bagaimana caranya, dan seperti apa mengukurnya.
Tanpa koordinasi pengendalian untuk mensinkronkan target dan prioritas pembangunan, mimpi jadi negara maju tak mungkin diwujudkan.
Di luar keempat gagasan itu, sebenarnya tetap ada kekhawatiran mengenai sikap Prabowo dan pemerintahannya menghadapi tuntutan demokratisasi dan menyempitnya ruang sipil.
Penanganan represif atas ekspresi warga untuk berpendapat (lewat medsos, demonstrasi, eksibisi seni, dan lain-lain) mesti dihentikan. Karena ini bukannya menunjukkan negara yang kuat-berwibawa, namun justru bukti ia lemah tak berdaya menegakkan hukum dan melindungi warganya.
Seratus hari pertama memang tak cukup untuk menilai hasil kerja Prabowo, tapi bisa memberi gambaran soal prioritas, gaya pemerintahan, dan arah kebijakannya. Lemahnya tata kelola, buruknya koordinasi, dan tak efektifnya pelaksanaan kebijakan membuat pemerintahan ini terlihat mudah menggampangkan persoalan.
Padahal, ”menggampangkan” perkara kompleks, seperti kebijakan pembangunan, sudah pasti keliru. Perbaikan mendasar dibutuhkan sesudah 100 hari ini. Kita butuh pemerintahan yang mumpuni dan paham substansi, yang dijalankan oleh mereka-mereka yang profesional, bukan transaksional.