Artikel ini pertama kali terbit di Kompas pada tanggal 1 Agustus 2025.

Meski sudah mendapat abolisi, kasus Tom Lembong tetap penting sebagai pelajaran publik, terutama saat logika kebijakan berhadapan dengan tafsir hukum pengadilan.
Pada 18 Juli 2025, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara kepada Thomas T Lembong, mantan Menteri Perdagangan, atas kebijakan impor 105.000 ton gula mentah tahun 2015.
Kebijakan itu diambil untuk menstabilkan pasokan dan harga saat produksi nasional tidak merata mencukupi. Tak ada bukti Tom menerima gratifikasi atau memperkaya diri.
Bahkan, dalam amar putusan, pengadilan mengakui Tom bertindak tanpa motif pribadi. Namun, karena dianggap melanggar prosedur administratif dan ”menyebabkan kerugian negara”, Tom tetap dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman.
Pada 31 Juli 2025, Presiden Prabowo Subianto dengan persetujuan DPR memberikan abolisi (penghapusan pidana) kepada Tom. Banyak yang menyambut positif meski ada yang menilai sekadar strategi merebut simpati publik atau manuver politik.
Bagaimana memahami situasi ini?
Meski sudah mendapatkan abolisi, kasus Tom tetap penting sebagai pelajaran publik, terutama saat logika kebijakan berhadapan dengan tafsir hukum pengadilan.
Putusan ini menandai babak baru relasi kebijakan dan hukum di Indonesia—saat kebijakan publik yang sah dalam konteks kebutuhan negara bisa dihukum layaknya kejahatan. Terjadi pergeseran: dari ruang debat rasional berbasis argumen dan data ke arena penghukuman berbasis tafsir hukum yang sempit.
Pertanyaannya: apakah pejabat publik yang membuat kebijakan demi mengatasi persoalan nyata kini mesti siap dipenjara jika hasilnya tak sesuai dengan harapan?
Jika kasus ini berhenti pada abolisi dan preseden ini dibiarkan tanpa kajian, konsekuensinya serius bagi tata kelola pemerintahan. Ini bukan sekadar soal hukuman pada satu orang, melainkan soal keberanian birokrasi mengambil keputusan strategis. Jika dibiarkan, nalar kebijakan akan mati pelan-pelan: kemampuan menimbang, memilih, dan bertindak di tengah ketidakpastian—yang justru jadi syarat pemerintahan yang waras.
Latar belakang kasus
Kebijakan yang dipakai menjerat Tom bukan tanpa dasar. Ia diambil secara resmi melalui instrumen Kementerian Perdagangan untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga gula nasional. Saat itu, konsumsi domestik sekitar 2,12 juta ton per tahun, sementara produksi dalam negeri, meski tampak surplus secara agregat, mengalami ketimpangan distribusi dan kualitas di tingkat daerah.
Dalam situasi itu, impor gula mentah 105.000 ton melalui swasta diputuskan sebagai langkah menjaga buffer stock dan menstabilkan harga. Kebijakan ini pun bukan hal baru. Indonesia sejak lama mengandalkan impor untuk menutup celah pasokan komoditas strategis.
Namun, keputusan itu kemudian dijerat hukum karena dinilai melanggar prosedur dan menyebabkan kerugian negara Rp 578 miliar, angka yang dihitung dari selisih harga impor terhadap harga patokan dan potensi pendapatan negara, bukan dari kerugian aktual. Padahal, ini murni perhitungan hypothetical loss.
Bahkan, dalam amar putusan, hakim mengakui tak ada keuntungan pribadi yang diperoleh Tom, dan kebijakan itu diambil dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara. Kerugian yang dibangun dari asumsi dijadikan dasar penghukuman, mengabaikan konteks kebijakan, tujuan intervensi pasar, dan prinsip dasar bahwa kebijakan publik kerap harus diambil sebelum risiko jadi kenyataan.
Logika hukum dalam kasus ini mengaburkan batas kesalahan administratif, keputusan kebijakan, dan tindak pidana. Padahal, dalam pemerintahan yang sehat, kebijakan selalu punya ruang diskresi, khususnya saat kondisi darurat atau saat tiadanya opsi ideal. Jika setiap diskresi diperlakukan sebagai delik pidana, seluruh proses pengambilan keputusan yang mengandung risiko akan berubah jadi ladang jebakan hukum.
Dalam konteks ini, bukan hanya keberanian birokrasi membuat kebijakan yang terancam mati, melainkan juga nalar kebijakan itu sendiri. Robert Behn (1995) bilang, akuntabilitas yang menghindari risiko (risk-averse accountability) mendorong birokrasi bermain aman, menghindari inovasi, dan membiarkan masalah membusuk karena takut dipersalahkan.
Ini juga ditegaskan OECD (2018) yang mengingatkan bahaya ”kriminalisasi kesalahan kebijakan yang beritikad baik” (criminalising honest policy errors) karena melumpuhkan kapasitas negara untuk belajar dari kesalahan dan bertindak cepat dalam situasi darurat.
Lebih problematik lagi, perhitungan ”kerugian negara” yang jadi dasar vonis itu spekulatif, bukan aktual. Tak ada dana publik yang sungguh hilang atau disalahgunakan. Pendekatan hypothetical loss ini lama dikritik karena kerugian negara dalam konteks pidana harus nyata dan terukur. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat: pendekatan kuantitatif yang mengabaikan proses kebijakan dan niat pejabat justru berpotensi mereduksi keadilan substantif.
Berbagai literatur kebijakan seperti ditulis Paul ’t Hart dan Karen Tindall (2009) juga membedakan kegagalan kebijakan (policy fiasco) dari tindakan kriminal: tak semua hasil buruk kebijakan bisa dijadikan obyek penghukuman. Jika hukum tak mampu membedakan antara ”kesalahan niat” dan ”kesalahan akibat kompleksitas sistem”, kita tak sedang menegakkan keadilan, tapi membungkam kemampuan negara untuk bertindak.
Matinya nalar kebijakan
Mereka yang paham kebijakan publik tahu, tak ada kebijakan yang hitam-putih, sepenuhnya benar atau salah. Kebijakan selalu lahir dari rangkaian pertimbangan dengan data yang tak pernah lengkap, sumber daya terbatas, desakan waktu, dan tuntutan politik.
Karena itu, kualitas kebijakan publik diukur bukan dari kesempurnaan hasilnya, melainkan kemampuan pengambil kebijakan menimbang trade-offs dan memilih opsi yang paling mungkin membawa manfaat optimal dalam kondisi serba terbatas. Proses kebijakan itu soal mengelola ketidakpastian, bukan menghindarinya (Pearson dan Crewe, 2002).
Saat kebijakan dinilai hanya dari hasil akhirnya, apalagi dengan kriteria legalistik sempit, logika dasar kebijakan dibelokkan. Mengapa? Setiap kebijakan, sebaik apa pun proses pembuatannya, pasti punya konsekuensi-tak-termaksud (unintended consequences). Ini prinsip klasik sejak Merton menulis tentang fenomena unanticipated consequences of purposive action (1936).
Dalam pemerintahan, konsekuensi ini bukan berarti kesalahan, melainkan bagian tak terhindarkan dari kompleksitas sistem sosial dan ekonomi. Sunstein (2005) menekankan, dalam pembuatan kebijakan, terutama dalam situasi yang perlu kehati-hatian, unintended consequences itu wajar dan seharusnya dikelola, bukan dihukum. Maka, jika ia mulai diperlakukan sebagai delik hukum, kita tengah menuju rezim tak rasional, dengan ketakutan mendominasi penalaran.
Konsekuensinya serius. Satu, takkan ada lagi ruang aman bagi inovasi kebijakan. Setiap kebijakan baru, terutama yang transformatif, pasti menantang status quo dan berisiko. Jika risiko disamakan dengan kesalahan hukum, pejabat publik akan memilih diam tak bertindak.
Dua, ini menciptakan kelumpuhan kebijakan (policy paralysis) di birokrasi: pembuat kebijakan lebih memilih diam atau menjalankan prosedur secara mekanistik tanpa substansi, demi menghindari kemungkinan kriminalisasi. Ini disebut technocratic defensiveness, saat aktor kebijakan lebih sibuk melindungi diri ketimbang menyelesaikan masalah (Fischer dan Forester, 1993).
Tiga, matinya kepemimpinan teknokratis. Mereka yang kompeten dan berintegritas akan enggan mengambil posisi strategis di sektor publik jika setiap kebijakan bisa dibawa ke pengadilan.
Apa yang tersisa? Para pembuat kebijakan yang hanya main aman: tidak ambil risiko, tidak membuat keputusan substantif, dan tidak mengubah situasi. Dalam jangka panjang, negara kehilangan kemampuan berpikir strategis dan publik kehilangan kepercayaan.
Implikasi
Jika saja tak ada abolisi, vonis terhadap Tom jadi preseden, yang menciutkan nyali birokrasi. Karena yang sedang dibangun adalah sebuah rezim ketakutan: di mana setiap kebijakan—seberapa pun masuk akal dan baik itikadnya—dapat dijerat hukum jika hasilnya tak sesuai harapan.
Dalam situasi ini, pejabat publik akan lebih takut salah daripada terdorong untuk benar. Ini menciptakan administrative chilling effect: birokrasi beku bukan karena tidak tahu, tapi karena tidak berani (Hood, 2010).
Kriminalisasi kebijakan juga melumpuhkan pengambilan keputusan (Lipsky, 1980)—dari tingkat operasional hingga tingkat strategis. Pejabat-teknokrat akan menghindari keputusan yang berdampak besar, memilih jadi pelaksana aturan ketimbang penggerak perubahan. Mereka hanya pandai bertahan, bukan memimpin. Akibatnya negara jadi otopilot—bergerak tanpa arah, hidup tanpa visi.
Selain itu, kerusakan struktural: legitimasi kepemimpinan tergerus, regenerasi teknokrasi macet. Jangka panjang, talenta terbaik hilang karena sistem lebih suka menghukum keberanian ketimbang memberi ruang bagi integritas.
Yang lebih mengkhawatirkan, relasi eksekutif dan yudikatif jadi timpang. Saat semua kebijakan publik bisa diuji lewat tafsir hukum yang mengabaikan konteks dan kompleksitas, proses pembuatan kebijakan tunduk pada mekanisme hukum yang prosedural: kering, dangkal, dan tercerabut dari kenyataan. Akibatnya, negara tak lagi jadi ruang deliberasi kebijakan, tapi ladang penghukuman para teknokrat.
Kita mesti apa?
Jangan biarkan kasus ini berlalu begitu saja. Ke depan, negara harus didesak mengambil sikap tegas dan rasional menyelamatkan nalar kebijakan publik dari kepungan legalisme prosedural yang membutakan.
Pertama, tegas bedakan malaadministrasi, kegagalan kebijakan, dan tindak pidana korupsi. Perlu mekanisme evaluasi kebijakan berbasis konteks, akuntabilitas, dan pembelajaran, bukan sekadar penghukuman yang membabi buta.
Kedua, sistem peradilan harus punya kapasitas memahami proses kebijakan. Aparat penegak hukum tak cukup hanya tahu hukum, tapi juga harus punya literasi kebijakan. Tanpa itu, pengadilan jadi arena pembantaian logika kebijakan oleh tafsir hukum sempit dan prosedural.
Dan yang paling penting, membangun kembali keberanian di tengah ketakutan. Bagi para teknokrat dan profesional muda yang mulai ragu masuk atau bertahan di ruang publik karena kasus seperti ini, saya hanya mau bilang: jangan pergi. Negeri ini butuh Anda. Justru karena ruangnya kian sempit dan mungkin menakutkan, kehadiran Anda yang waras, jujur, dan berani jadi makin penting.
Kita tak bisa menyerahkan negeri ini hanya kepada mereka yang kebal tak tersentuh. Kita butuh orang-orang yang meski tahu risikonya, tetap memilih bertindak demi kepentingan publik.
Akhirnya, vonis terhadap Tom Lembong bukan hanya ketidakadilan pada satu orang, tapi pengkhianatan terhadap prinsip akal sehat dalam pemerintahan.
Kita saksikan bagaimana hukum kehilangan kebijaksanaan, dan negara sempat kehilangan keberpihakan pada keberanian. Meski kini dikoreksi lewat abolisi, keberpihakan ini tak boleh berhenti hanya pada kasus ini.
Ketika pejabat dihukum bukan karena mencuri, melainkan karena berpikir dan bertindak, yang sedang dihukum sesungguhnya adalah keberanian itu sendiri. Jika ini dibiarkan, negeri ini akan dipimpin oleh mereka yang tak pernah mencoba, tak pernah berpikir, dan tak pernah mengambil risiko.
Kebijakan takkan lagi lahir dari nalar dan keberpihakan, tapi ketakutan dan ketakberdayaan.
